Kamis, 22 Desember 2011

Bertutur Kata yang Baik dan Berkata Manis


(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah)

Sekedar menampakkan wajah yang berseri-seri serta bertutur yang baik sesungguhnya merupakan perkara ringan. Namun demikian, bagi sebagian besar kita hal itu seolah demikian berat untuk dipraktikkan. Yang memprihatinkan, gejala ini juga menimpa sebagian para penuntut ilmu agama di mana sikap mereka demikian kaku terhadap orang-orang awam.
Berjumpa dengan orang lain adalah perkara yang biasa dalam keseharian kita sebagai makhluk sosial. Karena tak mungkin kita hidup menyendiri dari orang lain. Kita butuh saudara, butuh teman, dan kita butuh orang lain. Yang tak biasa alias luar biasa, bila kita dapat mengamalkan tuntunan Allah k dan Rasul-Nya kala berjumpa dan berkata. Kenapa demikian? Karena di zaman kita sekarang, adab-adab Islam sudah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Mungkin karena kebodohan ataupun karena ketidakpedulian mereka.
Adapula yang berdalil dengan tabiat, yakni ada sebagian daerah di negeri kita ini di mana orang-orangnya bertabiat kaku, cuek, dan sok tak peduli. Sehingga bila bertemu dengan orang yang mereka kenal sekalipun, sikap mereka seperti tak kenal, tak ada senyum, tak ada sapaan. Lebih-lebih bila berjumpa dengan orang yang tak mereka kenal walaupun duduk bersama-sama dalam satu majelis. Ibaratnya kalau kita tidak menegur dan menyapa terlebih dahulu, mereka pun tidak akan menegur dan menyapa, benar-benar cuek dan kaku. Orang-orang seperti ini dijumpai sendiri oleh penulis. Awalnya penulis merasa mungkin punya salah terhadap mereka atau ada sikap yang tidak berkenan di hati mereka sehingga mereka berlaku demikian. Tetapi akhirnya penulis mengerti bahwa memang demikian tabiat umumnya mereka yang tinggal di daerah tersebut. Wallahu al-musta’an.
Sungguh Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik kepada sesamanya, rendah hati kepada saudara dan penuh tawadhu’. Allah k berfirman kepada Nabi-Nya:
“Rendahkanlah sayapmu kepada kaum mukminin.” (Al-Hijr: 88)
Maksudnya: bersikap lunaklah terhadap mereka dan perbaiki akhlakmu terhadap mereka karena mencintai, memuliakan, dan mengasihi mereka. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 435)
Dalam ayat lain, Allah l berfirman:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Bersikap ramah kepada saudara dan bertutur yang baik jelas merupakan amalan kebaikan, bahkan bila seseorang tidak mendapatkan harta untuk disedekahkannya di jalan Allah k maka mengucapkan kalimat yang baik dapat menggantikannya.
‘Adi bin Hatim z berkata, “Rasulullah n bersabda:
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَـمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma. Namun siapa yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa disedekahkannya maka dengan (berucap) kata-kata yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 2346)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat thayyibah merupakan sebab selamat dari neraka. Yang dimaksud kalimat thayyibah adalah ucapan yang menyenangkan hati seseorang jika ucapan itu mubah atau mengandung ketaatan.” (Al-Minhaj, 7/103)
Ibnu Baththal tberkata, “Kalimat thayyibah teranggap sebagai sedekah, dari sisi di mana pemberian harta akan membahagiakan hati orang yang menerimanya dan menghilangkan rasa tidak senang dari hatinya. Demikian pula kalimat-kalimat yang baik, maka keduanya (pemberian harta dan ucapan yang baik) serupa dari sisi ini.” (Fathul Bari, 10/551)
Dalam hadits yang lain, Nabi n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari z:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْـمَعْرُوْفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim no. 6633)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika bertemu.”
Al-Qadhi Iyadh t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyariatkan, dan diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita n dalam hal ini dan sifat beliau yang Allah l sebutkan dalam Al-Qur`an, dan Allah l bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti tersebut dalam firman-Nya:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159) [Ikmalul Mu’allim bi Fawa`id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar z, Rasulullah n bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi no. 1956, dishahihkan Asy-Syaikh Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no. 572)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri dan penuh senyuman ketika bertemu saudaramu akan dibalas dengan pahala sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja`a fi Shana`i’ Al-Ma’ruf, ketika membahas hadits di atas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tberkata, “Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang baik, karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi n. Tentunya, sikap seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Allah l dan mengikuti Sunnah Nabi n. Karena beliau n selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika bertemu orang lain dan beliau banyak melempar senyuman. Karena itu, sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala, rasa cinta dan kedekatan hati, di samping jauh dari sikap takabur dan merasa tinggi dari hamba-hamba Allah l yang lain. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500)
Sungguh wajah yang cemberut ataupun tanpa ekspresi, dingin dan kaku, tidak pantas diberikan kepada sesama muslim, karena hal itu menyelisihi apa yang dititahkan oleh Allah k dan Rasul-Nya. Yang seperti itu seharusnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan munafik karena Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Taubah: 73)
Meskipun begitu, bila si orang kafir diharapkan mau masuk Islam, kita sepantasnya menampakkan wajah yang manis ketika berjumpa. Namun bila sikap baik kita ini justru menambah kesombongannya dan ia merasa tinggi daripada kaum muslimin, maka wajah cerah tidak boleh diberikan kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500-501)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t juga menyatakan, “Wajah yang cerah/manis termasuk perkara kebaikan, karena akan memasukkan kebahagiaan pada saudaramu dan melapangkan dadanya. Kemudian bila wajah yang berseri-seri ini digabungkan dengan tutur kata yang baik, akan tercapai dua maslahat, yaitu wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang baik. Nabi n menyatakan dalam sabdanya:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Takutlah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma.”
maksudnya jadikanlah pelindung antara kalian dan neraka walaupun kalian bersedekah hanya dengan sepotong kurma. Karena, hal itu akan dapat melindungimu dari api neraka jika memang Allah l menerima sedekah tersebut.
Namun jika kalian tidak mendapatkan sesuatupun yang dapat kalian sedekahkan, maka ucapkan kata-kata yang baik ketika berjumpa dengan saudara seiman. Misalnya engkau berkata kepadanya,
“Bagaimana kabarmu?”,
“Bagaimana keadaanmu?”,
“Bagaimana kabar saudara-saudaramu?”,
“Bagaimana dengan keluargamu?”,
dan yang semisalnya. Karena kalimat-kalimat seperti ini akan meresapkan kebahagiaan di hati saudaramu. Setiap kata-kata yang baik adalah sedekah di sisi Allah k. Dengannya akan diperoleh ganjaran dan pahala. Sungguh Nabi n telah bersabda:
الْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.”1
Beliau n juga bersabda:
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.”2 (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/501)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Menyenangkan Suami Ada Batasnya

Membuat suami senang merupakan salah satu tugas seorang istri. Tapi caranya tentu bukan dengan berprinsip Asal Suami Senang, sehingga tidak semua perkara yang membuat senang suami boleh dilakukan. Apa saja perkara yang mungkin bisa membuat suami senang tapi dilarang oleh syariat?

Istri mana yang tidak bahagia melihat suaminya tersenyum penuh keridhaan kepadanya dan karena senang padanya. Tentunya semua istri yang baik tidak melepaskan upaya untuk menyenangkan dan membuat ridha suaminya1, karena ia menyadari betapa besar hak seorang suami terhadap istrinya. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan baik bahwa menyenangkan suami itu ada batasnya dan tidak boleh keluar dari garis-garis syar‘i. Artinya, seorang istri ketika hendak menyenangkan suaminya, menuruti keinginan suaminya, maka hendaklah ia letakkan di hadapan matanya sabda Nabi n:
“Hanyalah ketaatan itu (diberikan) dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Sehingga seorang istri tidak boleh melakukan perkara yang haram dengan dalih ingin menyenangkan suami dan ingin mereguk cintanya. Kalaupun suami yang menyuruhnya melakukan perbuatan yang terlarang tersebut maka tidak ada kewajiban taat bagi si istri dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Bila suaminya ternyata murka karena keengganannya, hendaklah si istri mengingat dan menghibur diri dengan sabda Nabi n:
“Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka/marah padanya. Dan siapa yang membuat Allah ridha sekalipun manusia murka padanya, maka Allah akan ridha padanya dan Allah menjadikan orang yang memurkainya dalam meraih ridha Allah itu akan ridha pula padanya, sampai-sampai Allah akan menghiasi si hamba dan menghiasi ucapan dan amalannya di mata orang yang semula murka tersebut.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/132/1/1, lihat Ash-Shahihah no. 2311)
Seorang istri wajib taat kepada suaminya bila suaminya memanggilnya ke tempat tidur dan mengajaknya jima‘ namun bila si istri dalam keadaan haid, ia tidak boleh langsung memenuhi ajakan suaminya dengan dalih ‘kasihan suamiku, aku ingin menyenangkan suamiku’, tapi ia harus memberitahukan keadaannya kepada suami. Bila suami tetap memaksa maka ia tidak boleh mentaatinya karena Allah I telah menetapkan dalam Tanzil-Nya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menggauli mereka pada kemaluannya) di saat mereka sedang haid. Dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka sampai mereka suci dari haid tersebut. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah (pada farji/kemaluan mereka) kepada kalian.” (Al-Baqarah: 222)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata: “Yakni jauhilah para istri di tempat keluarnya darah haid mereka, sehingga yang tidak diperkenankan adalah menggauli istri pada qubulnya secara khusus. Perkara ini diharamkan dengan ijma (kesepakatan ulama). Dikhususkannya penyebutan menjauhi istri pada tempat keluarnya darah haid, menunjukkan bahwa bermesraan dan bersentuhan tubuh dengan istri yang haid dengan tidak menggaulinya pada kemaluannya adalah perkara yang dibolehkan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 100)
Demikian pula bila suami ingin menyetubuhinya pada duburnya maka ia tidak boleh menaati suaminya, karena Nabi n melaknat orang yang melakukan hal tersebut dalam sabda beliau:
“Terlaknat orang yang menggauli istrinya pada duburnya.” (HR. Ahmad, 2/4442)
Termasuk juga dalam hal berhias. Memang seorang istri harus berpenampilan bagus di hadapan suaminya. Ia harus terlihat indah dengan menghiasi dirinya, akan tetapi ia tidak boleh berhias dengan perkara yang diharamkan sekalipun suami senang dan ridha melihatnya. Ia tidak boleh mencabut dan mengerik alisnya, mengikir giginya dan menyambung rambutnya karena orang yang berhias seperti ini terlaknat. ‘Alqamah berkata: “Abdullah bin Mas’ud z melaknat para wanita yang mentato dan minta ditato, wanita yang menghilangkan rambut alis, wanita yang minta dihilangkan rambut alisnya dan wanita yang mengikir giginya agar terlihat bagus, wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah. Ketika ucapan Abdullah bin Mas’ud ini sampai kepada Ummu Ya’qub, salah seorang wanita dari Bani Asad yang biasa membaca Al Qur`an, ia mendatangi Abdullah seraya berkata: ‘Berita yang sampai padaku tentangmu bahwasanya engkau melaknat wanita-wanita yang demikian (Ummu Ya’qub menyebutkannya satu persatu)?’
Abdullah menjawab: ‘Kenapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah n dan hal ini ada dalam Kitabullah?’
‘Demi Allah, aku telah membaca lembaran-lembaran Al Qur`an, namun aku tidak mendapatkan laknat yang engkau sebutkan,’ kata Ummu Ya’qub.
Abdullah menimpali: ‘Demi Allah, bila engkau membacanya niscaya engkau akan mendapatkannya, yaitu Allah I berfirman:
“Apa yang dibawa oleh Rasulullah untuk kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 5939 dan Muslim no. 2125)
‘Aisyah dan Asma` bintu Abu Bakar c berkisah: “Ada seorang wanita dari kalangan Anshar menikahkan putrinya. Putri tersebut ditimpa sakit sehingga berguguran rambutnya. Maka sang ibu mendatangi Nabi n dan mengisahkan apa yang menimpa putrinya. Setelahnya ia berkata: ‘Suami putriku tidak sabar dan ia minta segera dipertemukan dengan putriku, apakah aku boleh menyambung rambutnya?’
Mendengar hal itu, Rasulullah n mencerca wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya. Beliau menyatakan:
“Semoga Allah melaknat wanita yang menyambung rambut3 dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5934, 5935, 5941 dan Muslim no. 2122, 2123)
Hadits ‘Aisyah di atas dari jalan Ibrahim bin Nafi‘, ada tambahan keterangan bahwa suami si putri itulah yang menyuruh ibu mertuanya untuk menyambung rambut istrinya, sebagaimana pernyataan sang ibu:
“Suami putriku menyuruhku agar aku menyambung rambut putriku.” (HR. Al-Bukhari no. 5205)
Al-Imam Bukhari t memberi judul untuk hadits di atas, Bab Laa Tuthi‘ul Mar`ah Zaujaha fi Ma‘shiyatin (Bab Tidak boleh seorang istri menaati suaminya dalam perbuatan maksiat). Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Dari penerangan sebelum ini diketahui, bahwa disenangi bagi seorang istri untuk menaati suaminya dalam seluruh perkara yang diinginkan suami. Namun dikhususkan dalam hal ketaatan ini, bila perkaranya tidak ada unsur maksiat kepada Allah. Bila suami mengajak istrinya untuk maksiat, maka wajib bagi si istri untuk menolaknya. Kalau ternyata si suami menghukum istrinya karena penolakannya tersebut maka si suami berdosa.” (Fathul Bari, 9/366)
Dengan demikian, sebagaimana seorang suami tidak boleh menuruti istrinya dalam perkara maksiat kepada Allah I, begitu pula sebaliknya seorang istri tidak boleh menaati suaminya dalam bermaksiat kepada Allah. Yang demikian ini perlu menjadi perhatian agar langgeng mawaddah wa rahmah (rasa cinta dan kasih sayang) di antara keduanya. Mawaddah itu adalah nikmat dari Allah I maka jangan dihilangkan dengan berbuat maksiat. Sebaliknya hilangnya mawaddah dari pasangan hidup teranggap musibah. Dan musibah itu tidaklah menimpa seorang hamba melainkan karena akibat perbuatannya sendiri. Allah I berfirman:
“Tidaklah menimpa kalian suatu musibah maka hal itu disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian dan Dia memaafkan banyak dari kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata dalam Tafsir-nya terhadap ayat di atas: “Tidak ada satu musibah pun yang menimpa kalian wahai manusia di dunia ini, baik musibah yang mengenai diri kalian, keluarga ataupun harta kalian ‘maka hal itu disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian’, hanyalah musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman terhadap kalian karena dosa-dosa yang kalian perbuat terhadap Rabb kalian, dan Rabb kalian memaafkan banyak dari dosa-dosa kalian sehingga Dia tidak menghukum kalian dengan semua dosa tersebut.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 11/150)
Dengan penjelasan yang telah dibawakan di atas, maka kita katakan kepada seorang istri: “Janganlah engkau menaati suamimu dalam bermaksiat kepada Allah I. Dan janganlah karena ingin mencari ridhanya, ingin menyenangkan hatinya, engkau melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah I dan Rasul-Nya. Ketahuilah, engkau tidak akan dapat meraih cinta suamimu atau mengikat cintanya dengan cara yang demikian. Kalaupun pada awalnya suamimu senang kepadamu dengan apa yang engkau lakukan, maka ketahuilah kesenangannya itu tidak akan langgeng namun akan berakhir dengan kemarahan dan kebencian. “Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka/marah padanya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Yang sering menjadi dalil dalam masalah ridha ini adalah hadits Ummu Salamah x, ia berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:
“Wanita mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1854, namun sayangnya hadits ini ternyata dha’if (lemah), Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Adh-Dha’ifah no. 1426 menyatakan bahwa hadits ini mungkar.
2 Dalam sanad hadits ini ada perawi bernama Al-Harits ibn Makhlad, dia majhulul hal. Sehingga dalam hadits ini ada kelemahan. Demikian pula hadits-hadits lain yang berkaitan dengan larangan menjima‘i wanita pada duburnya, semuanya tidak lepas dari kelemahan. Namun bila hadits–hadits ini dikumpulkan maka bisa menjadi hujjah yang menunjukkan pastinya keharaman jima‘ pada dub(Al-Intishar li Huquqil Mu`minat, hal. 59)
3 Sama saja baik dia menyambung rambutnya sendiri atau melakukannya untuk wanita lain. (Fathul Bari, 10/388)

Fatwa Ulama tentang Boneka


1. Ada beragam boneka, di antaranya yang terbuat dari kapas yang memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ada pula yang sempurna menyerupai manusia. Ada yang bisa bicara, menangis, atau berjalan. Lalu apa hukum membuat atau membeli boneka semacam itu untuk anak-anak perempuan dalam rangka pengajaran sekaligus hiburan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menjawab: “Boneka yang tidak detail bentuknya menyerupai manusia/ makhluk hidup (secara sempurna) namun hanya berbentuk anggota tubuh dan kepala yang tidak begitu jelas maka tidak diragukan kebolehannya dan ini termasuk jenis anak-anakan yang dimainkan Aisyah x.
Adapun bila boneka itu bentuknya detail, mirip sekali dengan manusia sehingga seakan-akan kita melihat sosok seorang manusia, apalagi bila dapat bergerak atau bersuara, maka ada keraguan di jiwa saya untuk membolehkannya. Karena boneka itu menyerupai makhluk Allah I secara sempurna. Sedangkan yang dzahir, boneka yang dimainkan `Aisyah, tidaklah demikian modelnya (tidaklah rinci/ detail bentuknya). Dengan demikian menghindarinya lebih utama. Namun saya juga tidak bisa memastikan keharamannya, karena memandang, anak-anak kecil itu diberikan rukhshah/ keringanan yang tidak diberikan kepada orang dewasa seperti perkara ini. Disebabkan anak-anak memang tabiatnya suka bermain dan hiburan, mereka tidaklah dibebani dengan satu macam ibadah pun sehingga kita tidak dapat berkomentar bahwa waktu si anak sia-sia terbuang percuma dengan main-main. Jika seseorang ingin berhati-hati dalam hal ini, hendaknya ia melepas kepala boneka itu atau melelehkannya di atas api hingga lumer, kemudian menekannya hingga hilang bentuk wajah boneka tersebut (tidak lagi tampak/berbentuk hidung, mata, mulutnya, dsb, -pent.).”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 329, 2/277-278)
2. Banyak sekali dijumpai pendapat dan fatwa seputar permainan anak-anak. Lalu apa hukum boneka/ anak-anakan dan boneka hewan? Bagaimana pula hukumnya menggunakan kartu bergambar guna mengajari huruf dan angka pada anak-anak?
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: “Tidak boleh mengambil/ menyimpan gambar makhluk yang memiliki nyawa (kecuali gambar yang darurat seperti foto di KTP, SIM). Adapun yang selain itu tidaklah diperbolehkan. Termasuk pula dalam hal ini boneka untuk mainan anak-anak atau gambar yang digunakan untuk mengajari mereka (seperti memperkenalkan bentuk-bentuk hewan dengan memperlihatkan gambarnya, –pent), karena keumuman larangan membuat gambar dan memanfaatkannya. Padahal banyak kita dapatkan mainan anak-anak tanpa gambar/ berbentuk makhluk hidup. Dan masih banyak sarana yang bisa kita gunakan untuk mengajari mereka tanpa menggunakan gambar.
Adapun pendapat yang membolehkan mainan boneka untuk anak-anak, maka pendapatnya lemah karena bersandar dengan hadits tentang mainan ‘Aisyah x ketika ia masih kecil. Namun ada yang mengatakan hadits ‘Aisyah tersebut mansukh (dihapus hukumnya) dengan hadits-hadits yang menunjukkan diharamkannya gambar. Ada pula yang mengatakan bentuk boneka/ anak-anakan ‘Aisyah tidaklah seperti boneka yang ada sekarang, karena boneka ‘Aisyah terbuat dari kain dan tidak mirip dengan boneka berbentuk makhluk hidup yang ada sekarang. Inilah pendapat yang kuat, wallahu a’lam. Sementara boneka yang ada sekarang sangat mirip dengan makhluk hidup (detail/ rinci bentuknya). Bahkan ada yang bisa bergerak seperti gerakan makhluk hidup.”
(Kitabud Da’wah, 8/23-24, seperti dinukil dalam Fatawa ‘Ulama` Al-Baladil Haram hal. 1228-1229)
3. Apakah ada perbedaan bila boneka/ anak-anakan itu dibuat sendiri oleh anak-anak dengan kita yang membuatkannya atau membelikannya untuk mereka ?
Jawab:
Aku memandang –kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin– membuat boneka dengan bentuk yang menyerupai ciptaan Allah I haram hukumnya. Karena perbuatan ini termasuk tashwir yang tidak diragukan keharamannya. Akan tetapi bila mainan itu dibuat oleh orang-orang Nasrani dan kalangan non muslim, maka hukum memanfaatkannya sebagaimana yang pernah aku katakan. Tapi kalau kita harus membelinya maka lebih baik kita membeli mainan yang tidak berbentuk makhluk hidup seperti sepeda, mobil-mobilan dan semisalnya. Adapun boneka dari kapas/katun yang tidak detail bentuknya walaupun punya anggota-anggota tubuh, kepala dan lutut, namun tidak memiliki mata dan hidung, maka tidak apa-apa (dimainkan oleh anak-anak kita) karena tidak menyerupai makhluk ciptaan Allah I.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 330, 2/278)
4. Apakah benar pendapat sebagian ulama yang mengecualikan mainan anak-anak/boneka dari gambar yang diharamkan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata: “Pendapat yang mengecuali-kan mainan anak-anak/ boneka dari gambar yang diharamkan adalah pendapat yang benar. Namun perlu diperjelas, boneka seperti apakah yang dikecualikan tersebut? Apakah boneka yang dulu pernah ada (seperti yang dimainkan oleh Aisyah dengan sepengetahuan Nabi n -pent), yang modelnya tidaklah detail, tidak ada matanya, bibir dan hidung sebagaimana boneka yang dimainkan oleh anak-anak sekarang? Ataukah keringanan/pengecualian dari pengharaman tersebut berlaku umum pada seluruh boneka anak-anak, walaupun bentuknya seperti yang kita saksikan di masa sekarang ini? Maka dalam hal ini perlu perenungan dan kehati-hatian. Sehingga seharusnya anak-anak dijauhkan dari memainkan boneka-boneka dengan bentuk detail seperti yang ada sekarang ini. Dan cukup bagi mereka dengan model boneka yang dulu (tidak detail).”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 327, 2/275)

Sabar saat Berpisah dengan Permata Hati

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Ujian akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Bentuknya pun bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah kematian anak. Sabar adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang muslim agar mendapatkan kebaikan dari ujian yang menimpanya.
Berpisah untuk selamanya di dunia dengan anak yang dikasihi memang suatu kepedihan yang tertoreh begitu dalam di lubuk hati seorang insan. Apatah lagi dia seorang ibu yang pernah merasakan mengandung si anak, melahirkan, mengasuh, dan membesarkannya. Rasanya tak sanggup membayangkan hari-hari berlalu tanpa mendengar dan melihat celoteh, tawa canda, keceriaan, tangis dan jeritannya. Namun Allah I telah mengambil kembali milik-Nya, karena memang Dialah Pemilik yang hakiki. Dia berbuat sekehendak-Nya dengan hikmah-Nya yang agung dan dengan kemahaadilan-Nya.   (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia inginkan maka Dia lakukan), sehingga yang sepantasnya terlantun dari lisan seorang hamba yang beriman adalah kalimat istirja‘, Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un dan dia berdoa kepada Allah I agar dia diberi pahala dengan ujian/ musibah yang menimpanya, diberikan ganti dengan yang lebih baik daripada musibah tersebut dan diberi taufik untuk bersabar dengan kesabaran yang indah, . Wallahu al-musta‘an.
Demikianlah yang seharusnya dilakukan seorang ibu bila Allah I mengambil permata hatinya. Dia bersabar, ridha, dan ihtisab (meniatkan kesabaran itu untuk mendapatkan  pahala dari-Nya agar Allah menghitungnya sebagai amalan shalih)!
Ujian itu suatu kemestian
Tidak ada seorang mukmin pun yang hidup di muka bumi ini kecuali dia akan diuji oleh Allah I. Dia Yang Maha Suci berfirman dalam tanzil-Nya:
“Kami sungguh-sungguh akan menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa1, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un’. Mereka itulah yang mendapat pujian dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”  (Al-Baqarah:155-157)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata dalam menafsirkan terhadap ayat di atas: “Allah I mengabarkan bahwa Dia pasti akan menimpakan ujian kepada hamba-hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang jujur dalam imannya dan siapa yang dusta, siapa yang berkeluh kesah dan siapa yang sabar. Ini adalah sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya. Andai kelapangan dan kesenangan itu terus-menerus diperoleh orang yang beriman dan dia tidak diberi ujian, niscaya akan terjadi percampuran (orang yang benar imannya dengan orang yang dusta dalam keimanannya, pen.) di mana hal itu merupakan kerusakan. Sementara hikmah Allah menghendaki dipisahkan/ dibedakannya orang yang baik dari orang yang jelek. Inilah faidah ujian. Ujian itu bukanlah bertujuan menghilangkan iman kaum mukminin dan bukan pula tujuannya menolak mereka dari agama mereka.”
Beliau t berkata lagi: “Siapa yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika ditimpa musibah, maka dia akan menahan dirinya dari sikap marah (kepada Allah) baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dia mengharapkan pahalanya dari sisi Allah dan dia tahu pahala yang diperoleh dengan kesabarannya lebih besar daripada musibah yang menimpanya. Bahkan musibah itu bisa menjadi kenikmatan bagi dirinya. Karena, musibah tersebut menjadi sebuah jalan yang mengantarkannya kepada perkara yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Orang yang berbuat demikian sungguh telah berpegang dengan perintah Allah dan dia beruntung memperoleh pahala-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 76).
Untuknya dipersembahkan kabar gembira dari sabda Rasul yang mulia r:
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya maka Allah berikan musibah padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5645)
Surga yang dijanjikan bagi orang yang bersabar
Allah I menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang mau bersabar dengan musibah yang menimpanya. Janji ini teruntai lewat lisan Rasulullah r:
“Allah I berfirman: Tidak ada balasan yang diperoleh seorang hamba-Ku yang mukmin di sisi-Ku ketika Aku mengambil orang yang dikasihinya dari penduduk dunia kemudian dia bersabar (karena mengharapkan pahala dari-Ku), kecuali (dia akan memperoleh) surga.” (HR. Al-Bukhari no. 6424)
Maka, duhai ibu, betapa kecil dukamu karena perpisahan dengannya bila dibanding dengan jannah (surga) Allah I yang kan engkau peroleh. Bersabar dan harapkanlah pahala dari-Nya!
Satu lagi berita yang semoga dapat menggembirakanmu dan meringankan dukamu. Abu Sinan bertutur: “Aku telah meletakkan anakku dalam kuburnya. Ketika aku masih berada dalam liang kubur tiba-tiba Abu Thalhah Al-Khaulani memegang tanganku lalu ia mengeluarkan aku.
“Maukah aku beri kabar gembira padamu?”, tanyanya.
“Tentu”, jawabku.
“Telah menceritakan padaku Adh-Dhahhak bin Abdirrahman dari Abu Musa Al-Asy’ari z, ia berkata: “Rasulullah r bersabda:
“Allah I  berfirman : “Wahai Malaikat Maut, engkau telah mencabut ruh anak dari hamba-Ku? Engkau telah mencabut ruh penyejuk matanya dan buah hatinya?” Malaikat maut menjawab: “Ya.”
Allah berfirman: “Lalu apa yang diucapkan hamba-Ku itu?” (Dan Allah Maha Tahu, pen)
“Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja’,” jawab Malaikat Maut.
Allah I berfirman: “Kalau begitu bangunkan untuknya sebuah rumah di surga dan beri nama rumah itu dengan Baitul Hamdi.” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 795)
Ingat pula bagaimana kisah kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim x menghadapi kematian putranya, sehingga Rasul yang mulia r mendoakan keberkahan untuk diri dan suaminya di malam itu. Allah pun dengan kemahaadilan-dan kasih sayang-Nya menggantikan untuk keduanya dengan anak yang lebih baik, yang kelak melahirkan sembilan anak yang hapal Al-Qur’an. Subhanallah!  (HR. Al-Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144)
Tangis tidaklah meniadakan kesabaran
Bersabar ketika anak meninggal dunia bukanlah berarti seseorang tidak diperkenankan menangis. Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab seorang hamba karena tetesan air matanya dan tidak pula karena kesedihan hatinya…” (HR. Al-Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)
Bahkan tangisan itu adalah rahmat, tanda kasih sayang di hati seorang hamba. Namun yang dilarang dalam hal ini bila tangis itu berupa ratapan, dengan berteriak-teriak dan mengucapkan kata-kata sebagai pertanda tidak ridha dengan ketetapan Allah atau melakukan tindakan-tindakan yang diharamkan seperti memukul pipi, merobek kantung baju dan lainnya (melakukan niyahah). Adapun sekadar meneteskan air mata karena didorong kesedihan hati maka Rasulullah r pun mengalaminya.
Usamah bin Zaid bin Haritsah c maula Rasulullah r berkisah: “Putri Rasulullah r mengirim seseorang untuk menemui Rasulullah guna menyampaikan pesannya: ‘Putraku telah menjelang wafatnya, maka mohon ayah datang ke tempat kami’.
Rasulullah r pun mengirim utusannya guna menyampaikan salam beliau dan mengatakan: “Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang Dia ambil dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang tertentu. Karena itu hendaklah engkau bersabar dan ihtisab-lah.”
Setelah mendapat pesan demikian, putri Rasulullah r kembali mengirim seseorang untuk menemui beliau dan bersumpah agar beliau mau mendatanginya. Maka beliau pun menuju rumah putrinya ditemani Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang lainnya g. Cucu beliau yang menjelang ajalnya itu pun diangkat kepada beliau, maka beliau mendudukkannya di pangkuan beliau sementara napas anak itu berguncang. Mengalirlah air mata beliau. Sa‘ad pun bertanya: “Ya Rasulullah, tangisan apakah ini?”
“Tangisan ini adalah rahmat yang Allah jadikan di hati hamba-hamba-Nya,” jawab beliau.
Dalam satu riwayat: “Tangisan ini adalah rahmat yang Allah tempatkan di hati-hati hamba yang Dia kehendaki dan Allah hanyalah merahmati hamba-hamba-Nya yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR. Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923)
Duhai ibu, bersabarlah dengan musibah yang menimpamu dan harapkanlah pahala dari Rabbmu yang amat Pengasih!!!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

1 Seperti meninggalnya shahabat, kerabat dan orang-orang yang dicintai termasuk dalam hal ini kehilangan anak-anak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/256; Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 76)

Hukum Berhias dengan Inai


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata: “Tidak apa-apa berhias dengan memakai inai, terlebih lagi bila si wanita telah bersuami di mana ia berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, maka yang benar hal ini mubah (dibolehkan) baginya, namun jangan menampakkannya kepada lelaki yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan.

Banyak pertanyaan yang datang dari para wanita tentang memakai inai ini pada rambut, dua tangan atau dua kaki ketika sedang haidh. Jawabannya adalah hal ini tidak apa-apa karena inai sebagaimana diketahui bila diletakkan pada bagian tubuh yang ingin dihias akan meninggalkan bekas warna dan warna ini tidaklah menghalangi tersampaikannya air ke kulit, tidak seperti anggapan keliru sebagian orang. Apabila si wanita yang memakai inai tersebut membasuhnya pada kali pertama saja akan hilang apa yang menempel dari inai tersebut dan yang tertinggal hanya warnanya saja, maka ini tidak apa-apa.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 4/288)

Berhias Dengan Akhlak Mulia


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Lombok)

Di dalam Al-Qur`an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan agar manusia memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik (akhlakul karimah) sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan yang kadang dihadapkan dengan berbagai cobaan. Dengan akhlak yang baik, berbagai bentuk cobaan hidup bisa dijalani sehingga kita senantiasa diridhai Allah.

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan dan gesekan-gesekan hidup. Gesekan itu bisa datang dari diri kita sendiri atau dari orang lain. Tak jarang kita dihadapkan dengan orang-orang terdekat seperti kedua orang tua, sanak famili, teman-teman, dan bahkan dari seluruh masyarakat.
Ini adalah suatu kemestian, terlebih kalau kita hidup bersama orang lain. Yang demikian itu terjadi karena kita tidak memiliki hati yang satu dan tujuan yang sama. Itulah yang mengakibatkan terjadinya gesekan-gesekan dalam hidup. Sebagai individu saja, kita sering mengalami problema, maka terlebih lagi kalau terkait dengan orang lain. Oleh karena itu, Islam mengajarkan akhlak yang mulia untuk menghadapi semua itu dan bergaul bersama orang lain dengan pergaulan yang baik.
Sudahkah Anda berbakti kepada kedua orang tua dan tahukah hukumnya? Allah I berfirman:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu (agar kamu mengatakan kepada mereka) janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Isra`: 23)
Pernahkah anda kasihan terhadap orang yang mendapatkan musibah dan terdorong untuk segera membantunya? Allah I berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang memberikan kemudahan terhadap kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Bisakah Anda tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan saudara Anda? Padahal Allah I berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu di hadapan orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara`: 215)
Bisakah Anda menahan marah ketika melihat kekurangan pada diri saudara Anda? Padahal Rasulullah r bersabda:
“Seseorang datang kepada Rasulullah lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah!! Nasehatilah aku”. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu marah.” Orang tersebut mengulangi (pertanyaannya), Rasulullah tetap mengatakan: “Jangan kamu marah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Bisakah Anda menjadi orang pemaaf ketika saudaramu bersalah dan langsung meminta maaf?  Allah I berfirman:
“Jadilah engkau pemaaf dan serulah kepada kebajikan dan berpalinglah dari orang-orang jahil.” (Al-A’raf: 199)
Bisakah Anda menebar salam dan tersenyum di hadapan saudaramu? Rasulullah r bersabada:
“Hak orang muslim terhadap muslim lainya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab undangan dan menjawab orang yang bersin.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Bisakah Anda lemah lembut di hadapan saudaramu? Padahal Allah I berfirman:
“Maka dengan rahmat Allah-lah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka dan jika kamu berlaku kasar terhadap mereka, niscaya mereka akan menyingkir dari sisimu.” (Ali ‘Imran: 159)
Pernahkah Anda sadar membaca Bismillah ketika ingin makan dan minum, dan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib sementara dengan tangan kiri adalah haram? Rasulullah r bersabda:
“Hai nak, bacalah bismillah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan pernahkah Anda sadar bahwa makan dan minum dengan tangan kiri adalah cara syaithan? Rasulullah r bersabda:
“Maka sesungguhnya syaithan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)
Masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam? Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian masuk ke rumah-rumah yang bukan rumah kalian sampai kalian meminta izin dan mengucapkan salam atas penghuninya.” (An-Nur: 28)
Sayangkah Anda kepada saudara Anda sesama muslim? Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah z)
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sebagian dari akhlak yang harus ada pada seseorang dan dalam hidup bermasyarakat.
Berakhlak Yang Baik
Kita menginginkan semua orang baik di hadapan kita dan menginginkan agar mereka cinta dan sayang. Kita berharap memiliki teman yang mengetahui jati diri kita, keluarga kita, dan berusaha meringankan beban hidup kita. Kita mencari teman yang bisa kita ajak menuju segala bentuk kebajikan. Kita ingin memiliki teman yang tawadhu’, lapang dada, penyayang, ramah tamah, ringan tangan, penyabar, yang suka mengingatkan ketika kita lupa dan yang menasehati ketika bersalah, selalu bermuka manis dan ceria, memiliki tutur kata yang baik, lemah lembut, dermawan, menerima kekurangan orang lain, pemaaf dan akhlak-akhlak baik lainnya. Untuk mendapatkan hal yang demikian, tentu memiliki syarat-syarat yang harus dilakukan yaitu “Berakhlaklah dengan akhlak yang baik”. Rasulullah r bersabda:
“Bertakwalah di mana saja kamu berada dan susullah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskan perbuatan jelek tersebut dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (Hasan, HR. At-Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal dan Abu Dzar c)
Dalam hadits ini ada beberapa pelajaran penting, di antaranya anjuran untuk selalu memberikan wasiat kepada saudaranya dan mengingatkan kewajiban-kewajibannya. Juga bahwa setiap orang harus selalu merasa diawasi oleh Allah I, perbuatan baik akan menghapuskan perbuatan jelek, dan bergaul dengan setiap orang dengan akhlak yang baik.
Wallahu a’lam.

Orang Tua Tak Mau Menikahkan Putranya



Kepada Ustadz, semoga Allah merahmati Ustadz dan kita semua. Saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Ustadz.
1.    Bagaimana apabila orang tua tidak mau menikahkan anak laki-lakinya dengan alasan belum punya pekerjaan atau tidak punya ketrampilan sehingga menyebabkan anaknya itu mengalami gangguan saraf karena tidak menikah?
-    Salahkah perbuatan orang tua itu?
-    Apa yang harus diperbuat si anak?
2.    Bagaimana hukum orang tua yang mengatakan kepada anaknya “Lebih baik saya mati daripada punya anak senakal kau.” Anak itu berusia enam atau tujuh tahun.
Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(UF di Makassar)
Dijawab oleh
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim:
1.    Sesungguhnya Allah I menyatakan:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan.” (An-Nahl: 90)
“Berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 195)
Dari kedua ayat ini kita diperintah untuk berbuat baik dan berbuat adil karena dengan melakukan kedua perbuatan ini kita dicintai Allah I.
Sebagai orang tua hendaknya dia membantu anaknya dalam segala kebaikan, termasuk membantu pernikahannya, karena ini termasuk perkara kebaikan dan keadilan tersebut.
Terlebih lagi bila anak itu telah sampai pada saat yang wajib untuk menikah, agar tidak terjadi fitnah di muka bumi ini. Adapun mengenai persyaratan orang tua yang mengharuskan kerja atau mengatakan anak tidak punya ketrampilan, dalam hal ini anak sendirilah yang lebih mengerti akan dirinya. Kalau yang dimaksud pekerjaan adalah pegawai negeri, maka orang yang menikah itu tidak harus pegawai negeri. Orang bisa menikah walaupun bukan pegawai negeri atau tidak memiliki pekerjaan tetap namun bisa berwiraswasta.
Menganggap anak tidak punya ketrampilan, maka hal itu adalah suatu kekeliruan. Banyak orang yang dianggap tidak punya ketrampilan ternyata menjadi orang besar, karena ketrampilan itu sendiri banyak dan tidak terbatas. Tidak hanya sebatas menguasai teknik mesin, teknik bangunan atau yang semacamnya.
Sedangkan yang harus diperbuat oleh anak tersebut, yang pertama ia harus menunjukkan bahwa ia mampu menghidupi keluarga setelah menikah dan mampu bekerja, melakukan pekerjaan apa saja yang halal sehingga nantinya ia bisa memberi makan anak istrinya. Namun kalau toh setelah diusahakan orang tua tetap melarangnya, maka anak itu bisa melangkah untuk menikah walaupun orang tua tidak memperkenankannya, bila kewajiban telah melekat pada dirinya. Maka ia berhak untuk menikah.
Di dalam syariat Islam, anak laki-laki bisa menikah walaupun tanpa izin orang tuanya, tidak seperti anak perempuan, karena anak perempuan harus ada izin walinya (orang tuanya).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, batil, batil.” (Shahih, HR. Al-Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Dikatakan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/493: Ini hadits shahih)
Sementara anak laki-laki tidak mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Namun sebagai anak yang shalih tentunya dia harus memberitahukan kepada kedua orang tuanya apa yang hendak dilakukannya tersebut. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
2. Untuk jawaban pertanyaan berikutnya, sebaiknya orang tua memiliki pandangan bijaksana terhadap anaknya. Ini bila ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama, anak ini masih kecil, belum bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.
Kedua, kalaupun berbuat salah, maka dosanya belum tercatat di sisi Allah I dengan dalil hadits yang sanadnya shahih:
“Diangkat pena dari tiga golongan (di antaranya) dari anak kecil hingga dia mencapai usia baligh.” (Diriwayatkan Ashabus Sunan, Al-Imam Al-Hakim dan Al-Imam Ahmad, dan sanad hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap kitab Musnad Al-Imam Ahmad no. 940 dan 1183)
Ketiga, anak pada usia tersebut tumbuh untuk berkembang dan beraktivitas. Apabila dilontarkan perkataan semacam itu, dikhawatirkan akan mengakibatkan anak takut untuk berbuat sehingga cenderung menjadi orang yang penakut dan minder.
Para ulama mengatakan bahwa usia ini adalah usia yang dapat menerima masukan apa pun, baik dari bapaknya, ibunya atau yang lainnya. Perkataan semacam ini bila sering didengar anak akan masuk dan mempengaruhi jiwanya.
Keempat, dilihat dari sisi syariat perkataan ini tidak syar’i karena kita dilarang untuk minta mati seperti datang dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim:
“Janganlah kalian mengharapkan kematian karena suatu musibah yang menimpa. Apabila kalian mesti berharap, hendaklah mengatakan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku dan matikanlah aku bila kematian itu baik bagiku.”
Wallahu a’lamu bish-shawab.

Hakikat Hati Manusia


Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui Allah I, yang beramal untuk-Nya, dan yang berusaha menuju kepada-Nya. Anggota badan hanya menjadi pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja. Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.
Ketahuilah, bahwa hati, pada tabiat fitrahnya, mau menerima petunjuk. Tapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya di mana hati juga akan cenderung kepadanya. Di sana, akan saling mengusir antara malaikat dan setan, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga pihak kedua tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembunyi. Sebagaimana firman Allah I:
“Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi”.
Yaitu yang jika disebut Allah I ia sembunyi, tapi kalau lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah I. Setan tidak akan tentram bersama dzikir.
Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.
Jalan-jalan masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir sesuatu yang tidak dicapai akal, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain.
Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerusakan ini adalah dengan menutup pintu-pintu setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan-setan hanya bisa lewat, tidak bisa menetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya cukup dengan berdzikir kepada Allah I dan memenuhi hati dengan takwa.
Perumpamaan setan itu seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedangkan dia lapar, dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitupula hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir.
Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia menjadikan dzikir itu hanya sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap di tengahnya.
Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian ini pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu di saat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, penghasilan/ gaji , urusan dunia, dan lain-lain.
Wallahu ta’ala a’lam.
(Diterjemahkan dan diringkas dari Mukhtasar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 193-195 oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Surat Terbuka dari Ummu Al-Wadi’iyyah


Sepucuk surat terlayang dari negeri Yaman, dari seorang ‘alimah muhadditsah yang dikenal dengan nama Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah. Putri seorang muhaddits zaman ini, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, sebagai lecutan semangat bagi para muslimah di Indonesia untuk menuntut ilmu syar’i.

Dari Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah,
untuk saudaraku di jalan Allah
Ummu Ishaq Al-Atsariyah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Setelah memuji Allah I, aku kabarkan padamu, wahai Ummu Ishaq, bahwa telah sampai padaku dua pucuk surat darimu, semoga Allah I menjagamu dan aku doakan semoga Allah I mencintaimu, yang Dia telah menjadikanmu cinta kepadaku karena-Nya.
Adapun mengenai permintaanmu agar aku menulis risalah kepada akhwat salafiyyat di Indonesia, aku jawab bahwa aku telah menulis kitab Nashihati lin-Nisa (Nasehatku untuk Wanita) yang sekarang sedang dicetak. Bila kitab itu telah terbit, Insya Allah akan kami kirimkan kepadamu, semoga Allah I memudahkannya.
Adapun nasehatku dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu agama) bagi wanita, maka aku katakan: Hendaklah wanita memulai dari perkara yang Allah I wajibkan atasnya, seperti mulai dengan belajar ilmu tauhid yang merupakan pokok agama ini, karena Allah I tidak akan menerima amalan apa pun dari seorang hamba jika ia tidak mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut. Sebagaimana Allah I berfirman dalam hadits qudsi:
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari perbuatan syirik. Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukan Aku dengan yang lain maka aku tinggalkan dia dan sekutunya.”
Juga mempelajari thaharah, cara bersuci dari haid, nifas dan setiap yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur/ kemaluan depan dan belakang), dan mempelajari tata cara shalat, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya.
Demikian pula mempelajari tata cara haji jika ia ingin menunaikan ibadah ini, dan seterusnya…
Rasulullah r bersabda:
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”
Setelah itu, jika wanita tersebut termasuk orang-orang yang berkesinambungan dalam menuntut ilmu, maka hendaklah ia menghafal Al-Qur`an bila memang itu mudah baginya dan juga menghafal hadits Rasulullah r, tentunya disertai pemahaman dengan memohon pertolongan kepada Allah U. Kemudian merujuk kitab tafsir kalau ada masalah yang berkaitan dengan Al-Qur‘an, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Jarir. Jika masalahnya berkaitan dengan As-Sunnah, maka merujuklah kepada kitab-kitab syarah dan fiqih seperti Fathul Bari, Syarhun Nawawi li Shahih Muslim, Nailul Authar, Subulus Salam, Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.
Dan perkara yang sangat penting dan tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah berdoa kepada Allah I karena doa termasuk sebab yang menolong untuk memahami ilmu. Oleh karena itu, hendaknya seorang insan memohon kepada Allah I agar menganugerahkan pemahaman kepadanya.
Jika ada para pengajar wanita (guru/ustadzah) yang mengetahui Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka berguru kepada mereka merupakan perkara yang baik, karena seorang guru akan mengarahkan penuntut ilmu (murid) dan menjelaskan kepadanya kesalahan-kesalahan yang ada. Terkadang seorang penuntut ilmu menyangka sesuatu itu haq (benar), namun dengan perantaraan seorang guru ia bisa mendapatkan penjelasan bahwa hal itu ternyata salah, sedangkan al-haq (kebenaran) itu menyelisihi apa yang ada dalam prasangkanya.
Tidak menjadi masalah bagi seorang wanita untuk belajar pada seorang syaikh, akan tetapi dengan syarat selama aman dari fitnah dan harus di belakang hijab (ada tabir pemisah), karena selamatnya hati tidak bisa ditandingi dengan sesuatu.
Jangan engkau menganggap sulit urusan menuntut ilmu karena alhamdulillah menuntut ilmu itu mudah bagi siapa yang Allah I mudahkan, sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur`an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 17)
Dan sebagaimana sabda Nabi r:
“Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (lurus) dan mudah.”
Akan tetapi, ingatlah bahwa ilmu itu memerlukan ketekunan dan kesungguh-sungguhan sebagaimana dikatakan:
Berilah kepada ilmu semua yang ada padamu, maka ilmu itu akan memberimu sebagiannya.
Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
“Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara. Aku akan beritahukan kepadamu perinciannya.
Kepandaian, ketamakan (dalam mencari ilmu), kesungguhan, dan memiliki bekal.
Berteman dengan guru dan masa yang panjang.”
Maksud ucapan sya’ir “bulghah” adalah sesuatu yang bisa dimakan, karena termasuk perkara yang dapat menegakkan badan adalah makanan.
Berhati-hatilah wahai saudariku –semoga Allah I menjagamu– dari bersikap taqlid (mengikuti tanpa ilmu) dalam masalah-masalah agama, karena sikap taqlid itu adalah kebutaan. Padahal Allah I telah memberikan akal kepada manusia dan memberi nikmat dengan akal tersebut sehingga manusia unggul dengannya.
Adapun pertanyaanmu “Bagaimana caranya agar seorang wanita bisa menjadi pembahas/peneliti yang kuat (dalam ilmu din)?” Maka jawabnya –semoga Allah I menjagamu–: Masalah-masalah ilmu itu beragam dan sungguh Allah I telah mendatangkan untuk agama-Nya ini orang-orang yang berkhidmat padanya. Maka mereka memberikan setiap macam ilmu itu haknya, sebagai permisalan:
Jika suatu masalah itu berkaitan dengan hadits, maka hendaknya engkau merujuk kepada kitab-kitab takhrij seperti kitab Nashbur Rayah oleh Az-Zaila’i, At-Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan kitab-kitab Asy-Syaikh Al-Albani hafizhahullah yang padanya ada takhrij seperti Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah.
Jika masalahnya berkaitan dengan fiqih, maka hendaklah engkau merujuk kepada kitab-kitab yang memang ditulis untuk membahas fiqih, seperti kitab-kitab yang telah aku sebutkan sebelum ini, demikian seterusnya….
Saudariku, semoga Allah menjaga dan memeliharamu…
Sanjunglah Allah U karena Dia telah menjadikanmu mengenal bahasa Arab. Aku katakan kepadamu bahwa bahasa Arab saat ini telah banyak mengalami penyimpangan (pembelokan dari bahasa Arab yang fasih) dan kerancuan telah masuk pada bahasa ini yang memalingkannya dari kefasihan.
Akan tetapi, masih ada kitab-kitab bahasa Arab yang bisa engkau pelajari dan engkau baca serta engkau pergunakan agar lisan menjadi lurus (fasih dalam berbahasa Arab). Kitab-kitab yang dimaksud adalah kitab-kitab nahwu. Bagi pelajar pemula hendaknya mulai dengan mempelajari kitab At-Tuhfatus Saniyah, setelah itu kitab Mutammimah Al-Ajurumiyyah, lalu kitab Qatrun Nada dan Syarhu ibnu ‘Aqil. Dan sepertinya kitab-kitab ini sudah mencukupi bagi penuntut ilmu yang ingin mempelajari ilmu nahwu. Demikianlah wahai saudariku, jangan lupa untuk menyertakan aku dalam doa kebaikanmu karena doa seseorang untuk saudaranya yang muslim yang jauh dari dirinya itu mustajab (diterima Allah I). Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Ditulis oleh saudarimu fillah
Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah
Sabtu, 20 Ramadhan 1418 H
(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein dari surat aslinya)

Keutamaan Iffah dan Bersabar


(ditulis oleh: Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di)

Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)
Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat.
Pertama: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”
Kedua: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan makhluk.
Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.
1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:
مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.
2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.
Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z)
Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya.
Ketiga: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”
Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.
Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ  “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya: يُصَبِّرهُ اللهُ  “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.
Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.
Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya.
Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah l.
Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah l.
Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:
“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75)
Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-tempat yang tinggi.
Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong hamba-Nya.
Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.
Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.
Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak ketaatan.
Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.
Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa musibah.
Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.
Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.
Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.
Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.
Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di t)

Rabu, 21 Desember 2011

Bagai Menggenggam Bara Api

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Imam asy Syafi'i, "Wahai Abu Abdillah, manakah yang lebih baik bagi seseorang dibiarkan atau diuji?" Al Imam asy Syafi'i menjawab, "Tidak mungkin seseorang itu dibiarkan hingga ia diuji, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala telah menguji Nabi Nuh, Ibrohim, Musa, 'Isa, dan Nabi Muhammad sholawatullah 'alaihim ajma'in. Maka tatkala mereka bersabar, Allah mengokohkan mereka. Tidak boleh seorang pun mengira akan lepas dari kesusahan."

Al Allamah Ibnul Qoyyim mengatakan, "Ujian merupakan suatu keharusan yang menimpa manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkan dalam Al Qur'an tentang keharusannya menguji manusia..." (Madarijus Salikin 2/283).

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (adzab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu." (QS Al Ankabuut: 1-4).

Allah Ta'ala juga berfirman, "Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." (QS Al Anbiyaa`: 35).

Saudaraku,

Sungguh saat ini kita tengah berada di zaman yang benar-benar menuntut kesabaran, dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya bagaikan orang yang menggenggam bara api, jika dilepas maka akan membakar dirinya dan membahayakannya, namun bila tetap digenggamnya, maka ia membutuhkan kesabaran dan kekokohan yang luar biasa. Bagaimana pula tidak dikatakan demikian, sebab setiap kali nampak orang-orang yang ingin mengamalkan agama beribadah dengan syari'at Allah, akan berdiri ahli bid'ah, para pengekor hawa nafsu, dan orang-orang bodoh yang tidak mengerti agama kecuali dari nenek-nenek moyangnya siap menghadang di hadapannya, melemparkan cercaan, hinaan, tudingan, dan fitnah baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, benar-benar membuat mayoritas muslimin phobi untuk menjalankan tuntunan agamanya.

Betapa banyak para da'i-da'i Islam yang bungkam mulutnya tidak berani untuk berbicara yang haq, karena selalu mendapat tekanan dan intimidasi, terorislah, Islam garis keraslah, serta seabreg tudingan dan pelecehan yang lainnya. Keadaan seperti ini janganlah membuat kita surut langkah untuk tetap beramal dan menampakkan diri sebagai muslim sejati.

Seorang muslim yang berjenggot bersyukurlah dan tidak perlu merasa khawatir, justru ia harus bangga mendapat nikmat untuk melaksanakan perintah Nabi akan wajibnya memelihara jenggot.

Seorang muslimah yang berhijab bersyukurlah dan berbangga dirilah di saat mayoritas para wanita lebih menyukai laknat dan siksa Allah dengan berbusana setengah telanjang bangga menampakkan auratnya yang murahan. Tetaplah kembali berpegang teguh kepada pemahaman salafush sholih muslimin periode pertama di kala banyak orang meninggalkannya, tetaplah konsisten terhadap sunnah di kala tak sedikit orang melupakannya, bersatulah untuk menghancurkan tirani kebid'ahan dan ahlinya, mendobrak belenggu kemusyrikan dan ahlinya, serta membungkam mulut-mulut ulama-ulama su` dan pengekor hawa nafsu.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tiada seorang Nabi yang diutus sebelumku, melainkan mempunyai sahabat-sahabat yang setia yang mengikuti benar-benar tuntunan ajarannya. Kemudian timbullah di belakang mereka turunan yang hanya banyak bicara dan tidak suka berbuat dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia mu`min, dan siapa yang menentang mereka dengan lidahnya, ia mu`min, dan siapa yang membenci mereka dengan hatinya, ia mu`min. Selain dari itu tidak ada lagi iman walau seberat biji sawi." (HR Muslim dalam Kitabul Iman no: 80, Ahmad 1/458-461 dari sahabat Abdullah ibnu Mas'ud).

Hendaknya kita mengetahui bahwa sudah menjadi hikmah Allah, mengadakan bagi tiap-tiap Nabi musuh-musuhnya. Allah berfirman, "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin..." (QS Al An'aam: 112).

Allah juga berfirman, "Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong." (QS Al Furqan: 31).

Jika seorang da'i menyeru kepada tauhid ia akan mendapatkan di hadapannya da'i- da'i kepada kesyirikan, jika seorang da'i mengajak kepada sunnah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli bid'ah dan pengekor hawa nafsu, jika seorang da'i menuntun ummat mengamalkan agama sesuai syari'at Allah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syubhat dan ulama-ulama su', jika seorang da'i menjauhkan umat dari kemungkaran dan kemaksiatan, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syahwat, orang-orang fasiq, dan sejenis mereka. Oleh karena itu, segala apa yang menimpa kita kaum muslimin dari berbagai macam intimidasi, eksploitasi, dan semua usaha-usaha Islamophobia adalah ujian tuk meraih janji Allah dan membuktikan keimanan di hadapanNya.

Waroqoh bin Naufal pernah berkata kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tiada seorangpun yang datang membawa seperti apa yang telah engkau bawa melainkan ia akan diuji."

Saudaraku, semoga dirahmati Allah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan "sabar" sebagai senjata ampuh kaum mu`minin dalam membendung bahaya syahwat, fitnah, dan segala macam ujian; dan yang telah menjadikan yakin sebagai tameng untuk membendung lajunya syubhat.

Allah berfirman, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS Al Baqoroh: 155).

"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu..." (QS Muhammad: 31).

"Cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman: 17).

Dan Allah berfirman, "Katakanlah: 'Hai hamba-hambaku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.' Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS Az Zumar: 10).

Dan Allah juga berfirman, " Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. (QS Ar Ruum: 60).

Tidak ada lagi yang patut dikhawatirkan bagi para pengemban al haq, walau bagai menggenggam bara api, kesabaran dan keyakinannya yang akan menghantarkan pada kedudukan yang tinggi menggapai janji dan karunia Allah.

Allah berfirman, "Hai hamba-hambaku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat- ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri. Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan. Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebahagiannya kamu makan." (QS Az Zukhruf: 68-73).

Allah juga berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalamnya taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal (duduk) berhadap-hadapan. Demikianlah, dan Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar." (QS Ad Dukhaan: 51-57).

Hasbunallah wa ni'mal wakil, wal 'ilmu 'indallah, wal hamdulillahi robbil 'alamin.

Buletin Al Wala wal Bara Edisi ke-43 Tahun ke-1/10 Oktober 2003 M/13 Sya'ban 1424 H

Nasihat Berharga Imam Asy-Syafi'i kepada Muridnya Imam Muzany

mam Muzany bercerita,”Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang wafatnya, lalu aku berkata,”bagaimana keadaanmu pagi ini , wahai ustadzku?”

beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan parjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tau; apakah diriku berjalan ke syurga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan , atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”

Aku(Al-Muzany) berkata, “Nasihatilah aku”.

Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertaqwalah kepada Allah, parmisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu dan jangan lupa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah apa-apa yang Dia haramkan, laksanakanlah segala yang Dia wajibkan, hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai Dzikir dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang mendzolimimu, sambunglah orang yang memutus silaturrahmi kepadamu, berbuat baiklah kepada siapa yang bebuat jelek kepadamu, bersabarlah tehadap segala musibah, berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketaqwaan.”

Aku(Al-Muzany) berkata “Tambahkanlah (nasihatmu) kepadaku.”

Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata pencaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harap adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai jilbabmu, shadaqoh sebagai pelindungmu dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tidak tegesa-gesa sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur’an sebagai pembicaramu dengan kejelasan, jadikanlah Allah sebagai penyejukmu. Siapa yang sifatnya seperti ini maka syurga adalah tempat tinggalnya.”


Kemudian Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersyair:

Kepada-Mu -wahai Ilâh segenap makhluq, wahai pemilik anugerah dan kebaikan-,

kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa.
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku,

kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku

Kurasa dosaku teramatlah besar, namun tatkala dosa-dosa itu

kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-, ternyata maaf-Mu lebihlah besar

Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus-menerus

Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan.

Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh iblis

bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu, Adam.

Kalaulah Engkau memaafkan aku, maka Engkau telah memaafkan
seorang yang congkak, zholim lagi sewenang-wenang, yang masih terus berbuat dosa.

Andai kata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
walaupun diriku telah Engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku.

Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang, namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar.”


[Tarikh Ibnu Asâkir juz 51 hal. 430-431]

Sumber: Majalah An-Nashihah vol.13 thn 1429 H/2008 M

Mengetahui Pendeknya Usia

Waktu di dunia ini sebenarnya pendek jika dibandingkan akhirat yang abadi. Adapun usia manusia di dunia ini lebih pendek lagi. Keberadaannya di dunia ini hanyalah beberapa hari yang terbatas, kemudian berjalan menuju akhirat. Oleh karena itu, setiap orang yang berakal dan cerdas harus segera memanfaatkan waktu dan membuahkan setiap kesempatan untuk beramal shalih, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Kesempatan yang ada di dunia ini sedikit, dan perjalanan yang harus dilaluinya telah dekat, jalannya menakutkan, dan bahayanya besar. Sesungguhnya Allah Maha Melihat. Jika demikian, mungkinkah bagi orang yang berakal untuk menghilangkan detik-detik usianya yang terbatas ini untuk sesuatu yang tidak bermanfaat setelah kematiannya ?
Renungkanlah firman Allah ta’ala tentang orang-orang yang berdosa besar pada hari kiamat. Allah ta’ala berfirman :
قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الأرْضِ عَدَدَ سِنِينَ * قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ * قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا قَلِيلا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
“Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?". Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? [QS. Al-Mukminuun : 112-115].
Renungkanlah ! Orang-orang yang berdosa itu mengakui bahwa mereka hidup di dunia ini hanya sebentar, yaitu sehari atau setengah hari. Pada hakekatnya kehidupan dunia ini singkat, jika dibandingkan akhirat. Kemudian, Allah menjelaskan hakekat ini seraya berfirman :
إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا قَلِيلا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مالي و لي الدنيا إنما مثلي ومثل الدنيا كمثل راكب قال في ظل شجرة ثم راح وتركها
“Apa urusanku dengan dunia ? Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia adalah seperti pengembara yang tidur siang hari di bawah naungan pohon. Ia istirahat, lalu meninggalkannya” [HR. Ahmad 1/391 dan At-Tirmidzi no. 2377; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan kepada kita tentang pendeknya usia manusia di dunia dengan bersabda :
أعمار أمتي ما بين ستين إلى سبعين وأقلهم من يجوز ذلك
“Umur umatku antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, dan hanya sedikit di antara mereka yang melebihi umur tersebut” [HR. At-Tirmidzi no. 3550, Ibnu Majah no. 4236, Abu Ya’la no. 5990, Ibnu Hibbaan no. 2980, Al-Haakim 2/427, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. no. 757].
Oleh karena itu, sungguh celaka orang yang berjuang untuk kepentingan dunia yang pendek dan kemuliaan yang hina ini.
Orang bijak pernah berkata :
كيف يفرح بالدنيا من يومه يهدم شهره وشهره يهدم سنته وسنته تهدم عمره كيف يفرح من يقوده عمره إلى أجله وتقوده حياته إلى موته
“Bagaimana bahagia dengan dunia orang yang harinya menghabiskan bulannya, bulannya menghabiskan tahunnya, dan tahunnya menghabiskan umurnya ? Bagaimana bisa bahagia dengan dunia orang yang dituntun usianya kepada ajalnya, dan dituntun kehidupannya kepada kematiannya ?”.
Seorang penyair berkata :
نسير إلى الآجال في كل لحظة      وأيامنا تطوي وهن مراحل
ولم أر مثل الموت حقا كأنه       إذا ما تخطته الأماني باطل
وما أقبح التفريط في زمن الصبا      فكيف به والشيب للرأس شاعل
ترحل من الدنيا بزاد من التقي       فعمرك أيام وهن قلائل
“Kita berjalan kepada ajal di setiap setiap detik waktu
Hari-hari kita dilipat dan itu merupakan tahapan-tahapan
Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih hakiki daripada kematian
Jika sesuatu dilampaui angan-angan, maka bathil
Sungguh jelek kelalaian di waktu muda
Bagaimana uban itu memenuhi kepala ?
Ia berjalan dari dunia dengan bekal taqwa
Jadi, umurmu adalah kumpulan hari-hari; dan hari-hari itu amatlah sedikit
Adalah para shahabat, orang-orang yang patut menjadi teladan kita dalam kebaikan. Al-Imam Ibnu Rajab menggambarkan keadaan para shahabat akan hal itu :
لما سمع الصحابة رضي الله عنهم قول الله عز وجل: {فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ} [البقرة: 148]. {سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ} [الحديد: 21] فهموا أن المراد من ذلك أن يجتهد كل واحد منهم أن يكون هو السابق لغيره إلى هذه الكرامة والمسارع إلى بلوغ هذه الدرجة العالية فكان أحدهم إذا رأى من يعمل عملا يعجز عنه خشي أن يكون صاحب ذلك العمل هو السابق له فيحزن لفوات سبقه فكان تنافسهم في درجات الآخرة
“Ketika para shahabat radliyallaahu ‘anhu mendengar firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan’ (QS. Al-Baqarah : 148) ‘Berlomba-lombalah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi’ (QS. Al-Hadiid : 21); mereka memahami bahwa maksudnya adalah agar mereka bersungguh-sungguh dan berlomba-lomba dalam ketaatan dan amal shalih agar tiap-tiap orang di antara mereka segera mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi. Jika salah seorang di antara mereka melihat yang lainnya beramal dengan satu amalan yang ia merasa lemah untuk mengerjakannya, maka ia khawatir bahwa orang tersebut akan mendahuluinya. Ia merasa sedih karena luput dalam mengerjakan amal. Persaingan mereka (para shahabat) adalah dalam meraih (ketinggian) derajat di akhirat” [Lathaaiful-Ma’aarif, hal. 244].
Mari kita baca satu pucuk surat Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri yang pernah ditujukan kepada Khalifah mulia, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahumallah :
لأصفنّ لك الدنيا : ساعة بين ساعتين؛ ساعة ماضية وساعة آتية، وساعة أنت فيها. فأما الماضية والباقية فليس تجد لراحتهما الذَّة؛ ولا لبلائها ألمًَا. وإنما الدنيا ساعة أنت فيها فخدعتك تلك الساعة عن الجنة وصيرتك إلى النار، وإنما اليوم إن عقلت ضيف نزل بك وهو مرتحل عنك، فإن أحسنت نزله وقراه شهد لك وأثنى عليك بذلك وصدق فيك، وإن أسأت ضيافته ولم تحسن قراه جال في عينك. وهما يومان بمنزلة الأخوين نزل بك أحدهما فأسأت إليه ولم تحسن قراه فيما بينك وبينه، فجاءك الآخر بعده فقال : إني قد جئتك بعد أخي فإن إحسانك إليَّ يمحو إساءتك إليه، ويغفر لك ما صنعت فدونك إذ نزلت بك وجئتك بعد أخي المرتحل عنك فلقد ظفرت بخلف منه إن عقلت، فداركْ ما قد أضعت. وإن ألحقت الآخر بالألى فما أخلقك أن تهلك بشهادتهما عليك. إن الذي بقي من العمر لا ثمن له ولا عدل، فلو جمعت الدنيا كلها ما عدلت يومًا بقي من عمر صاحبه، فلا تبع اليوم ولا عدله من الدنيا بغير ثمنه، ولا يكونن المقبور أعظم تعظيمًا لما في يديك منك وهو لك، فلعمري لو أن مدفونًا في قبره قيل له : هذه الدنيا أولها إلى آخرها تجعلها لولدك أم يوم تترك فيه تعمل لنفسك لاختار ذلك، وما كان ليجمع مع اليوم شيئًا إلا اختار اليوم عليه رغبة فيه وتعظيمًا له، بل لو اقتصر على ساعة خُيِّرَهَا وما بين أضعاف ذلك يكون لغيره، بل لو اقتصر على كلمة يقولها تكتب له وبين ما وصفت لك وأضعافه لاختار كلمة الواحدة عليه، فانتقد اليوم لنفسك، وأبصر الساعة، وأعظم الكلمة، واحذر الحسرة عند نزول السكرة، ولا تأمن أن تكون لهذا الكلام حجة نفعنا الله وإياك بالموعظة، ورزقنا وإياك خير العواقب. والسلام عليك ورحمة الله وبركته.
“Aku akan menggambarkan kepadamu bahwa dunia ini adalah satu masa di antara dua masa yang lain. Satu masa telah lampau, satu masa akan datang, dan satu masa lagi saat dimana engkau hidup sekarang. Adapun masa lampau dan yang akan datang, tidaklah memiliki kenikmatan dan juga tidak ada rasa sakit yang bisa dirasakan sekarang. Tinggallah dunia ini saat dimana engkau hidup sekarang ini. Saat itulah yang sering memperdayamu hingga lupa dengan akhirat, dan perjalanan yang bisa mengantarkanmu menuju neraka. Sesungguhnya hari ini - bila engkau mengerti - ibarat tamu yang mampir ke rumahmu dan akan segera pergi meninggalkan rumahmu. Apabila engkau memberi penginapan yang baik dan menghormatinya, ia akan menjadi saksi atas dirimu, memujimu, dan berbuat benar untuk dirimu. Akan tetapi bila engkau memberi penginapan yang jelek, melayaninya dengan kasar, maka ia akan terus terbayang di depan matamu.
Hari ini dan hari esok bagaikan dua orang bersaudara yang masing-masing bertamu kepadamu secara bergantian. Ketika yang pertama singgah, engkau bersikap jelek kepadanya dan tidak memberikan pelayanan yang baik antara engkau dan dia. Lalu di hari kemudian saudaranya yang akan berkata : “Sesungguhnya saudaraku telah engkau perlakukan buruk. Sekarang aku datang setelahnya. Bila engkau melayaniku dengan baik, niscaya engkau dapat membayar perlakuan burukmu terhadap saudaraku, dan aku akan memaafkan apa yang telah engkau perbuat (terhadap saudaraku). Maka cukuplah engkau memberi pelayanan kepadaku apabila aku singgah dan menemuimu setelah kepergian saudaraku tadi. Dengan itu engkau telah mendapat keuntungan sebagai gantinya bila engkau mau berpikir. Gapailah apa yang telah engkau sia-siakan”.
Bila yang datang kemudian engkau perlakukan seperti sebelumnya, alangkah meruginya hidupmu di dunia akibat persaksian keduanya atas kejahatanmu. Sisa umurmu tidak akan berguna dan berharga lagi. Apabila engkau kumpulkan dunia seluruhnya, tidak akan dapat menggantikannya meskipun hanya satu hari yang tersia-siakan. Maka, janganlah engkau jual hari ini, dan jangan engkau ganti hari ini dengan dunia tanpa faedah yang berharga. Janganlah sampai terjadi, bahwa orang yang telah dikubur saja lebih menghargai apa yang ada di hadapanmu daripada dirimu sendiri, padahal semua itu milikmu. Demi Allah, apabila orang yang telah dikebumikan itu ditanya : ‘Ini dunia beserta seisinya, dari awal sampai akhirnya, yang bisa engkau pergunakan untuk anak cucumu setelah kematianmu, agar mereka dapat berfoya-foya, yang keinginanmu hanyalah mereka; dan ini satu hari yang disediakan untukmu yang dapat engkau gunakan untuk beramal bagi dirimu” - manakah yang engkau pilih ? Tentu ia akan memilih satu hari yang terakhir. Tidak ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dengan satu hari itu, melainkan ia pasti memilih hari itu karena kesukaannya dan penghormatannya terhadap hari itu. Bahkan apabila hanya dicukupkan satu jam, untuk diperbandingkan dengan berkali-kali lipat dari apa yang telah kita paparkan tadi; pasti ia juga akan memilih yang satu jam tadi. Meskipun dengan segala yang kita sebutkan dengan berbagai kelipatannya diberikan kepada orang lain. Bahkan apabila ia diberikan (pahala) satu kata yang ia ucapkan, untuk diperbandingkan dengan berlipat-lipat dari yang disebutkan tadi, pasti ia akan memilih satu kata itu.
Maka mulailah hari ini ! Cermatilah hari-harimu untuk kemaslahatanmu. Cermatilah meski hanya satu jam ! dan hormatilah meski hanya satu kata. Waspadailah kehinaan yang datang di akhir kehidupanmu. Janganlah engkau merasa aman untuk tidak dibantah oleh ucapanmu sendiri. Semoga nasihat ini berguna buatmu dan buat kami sendiri. Semoga Allah memberikan rizki kepada kita dengan akhir kehidupan yang baik. As-Salaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabatakaatuh”. [Hilyatul-Auliyaa’ 2/39].
وَأَنفِقُواْ مِن مّا رَزَقْنَاكُمْ مّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولُ رَبّ لَوْلآ أَخّرْتَنِيَ إِلَىَ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصّدّقَ وَأَكُن مّنَ الصّالِحِينَ *  وَلَن يُؤَخّرَ اللّهُ نَفْساً إِذَا جَآءَ أَجَلُهَآ وَاللّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ  
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata,”Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sebentar saja, sehingga aku dapat bersedekah dan aku menjadi orang-orang shalih”. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan [QS. Al-Munafiquun : 10-11].
عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ : أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ : كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ . وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ : إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memegang pundak kedua pundakku seraya bersabda : “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “. Ibnu Umar berkata : “Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. [HR. Al-Bukhari no. 6416, Al-Baihaqi 3/369, Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 13, Al-Baghawiy no. 4029, dan yang lainnya].
إِغْتَنِمْ خَمْساًَ قًبْلَ خَمْسٍِ : حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
”Manfaatkanlah lima (keadaan) sebelum (datangnya) lima (keadaan yang lain) : Hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu”.
Semoga ada manfaatnya…. Allaahu a’lam.

Memaafkan dan Berlapang Dada

Memaafkan atas sebuah kezhaliman lebih baik daripada mendendam, dibawa sampai ke akhirat.

Memaafkan seseorang yang pernah berbuat kezhaliman kepada kita, apapun bentuk kezhalimannya, adalah merupakan syariat Islam dan sesuatu yang diperintahkan di dalam Al Quran yan Mulia serta dicontohkan di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang agung.

Memang berat…tapi ganjaran pahalanya juga sangat besar, yaitu diampuni Allah Ta'ala dosa-dosanya.

Mari kita perhatikan ayat dan hadits mulia berikut:

{ وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [النور: 22]

Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS. An Nur: 22.

Ayat ini diturunkan dalam menceritakan kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu, yang telah bersumpah untuk tidak lagi membiayai dan menafkahi Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anhu, karena Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang mengatakan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha.

Dan ketika Allah Ta'ala telah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keterlepasan Aisyah radhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang telah dibuat-buat kaum munafik tersebut, kemudian keadaan kaum muslim menjadi tenang kembali, Allah Ta'ala memberikan taubat-Nya kepada kaum beriman yang ikut berkata dalam berita ini, dan didirikan pidana atas yang berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.

Maka Allah dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, mengajak Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu untuk memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, yang juga merupakan anak bibi beliau, seorang miskin yang tidak mempunyai harta kecuali hanya dari pemberian Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu saja, dan  Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk dari kaum Muhajirin serta telah diterima taubatnya oleh Allah Ta'ala, apalagi Misthah radhiyallahu 'anhu sudah mendapatkan hukuman pidana atas perbuatannya tersebut. Lalu apa sikap Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu akhirnya, mari perhatikan hadits berikut:

أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ: "... فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ هَذَا فِى بَرَاءَتِى قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ - رضى الله عنه - وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحِ بْنِ أُثَاثَةَ لِقَرَابَتِهِ مِنْهُ ، وَفَقْرِهِ وَاللَّهِ لاَ أُنْفِقُ عَلَى مِسْطَحٍ شَيْئًا أَبَدًا بَعْدَ الَّذِى قَالَ لِعَائِشَةَ مَا قَالَ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ) قَالَ أَبُو بَكْرٍ بَلَى ، وَاللَّهِ إِنِّى أُحِبُّ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لِى ، فَرَجَعَ إِلَى مِسْطَحٍ النَّفَقَةَ الَّتِى كَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِ ، وَقَالَ وَاللَّهِ لاَ أَنْزِعُهَا مِنْهُ أَبَدًا

Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha Istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ketika Allah telah menurunkan keterlepasanku (dari berita dusta yang disebarkan kaum munafik), Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata tentang Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anha, yang mana Misthah adalah orang yang beliau nafkahi, karena hubungan kekerabatannya dengan beliau dan karena kemiskiannya: "Demi Allah, selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikitpun, setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah radhiyallahu 'anha", maka Allah-pun menurunkan ayat:

( وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِى الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ )

Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Maka Abu bakar berkata: "Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni Allah Ta'ala". Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri nafkah. Dan beliau berkata: "Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya". HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.

Kawan pembaca… saya yakin Anda paham ceritanya…

Jadi…Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang awalnya ingin menghentikan membiayai Misthah radhiyallahu 'anhu, disebabkan Misthah radhiyallahu 'anha termasuk orang yang ikut berkata akan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah diprakarsai oleh kaum munafik, tetapi setelah melihat ganjaran pahala yang begitu besar dari Allah Ta'ala jika beliau memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu pun memilih untuk mendapatkan ganjaran tersebut, yaitu berupa ampunan dari Allah Ta'ala, daripada menyimpan dendam yang tiada habisnya. Allahu Akbar!.

Maafkanlah kesalahan saudara-saudara seiman kita, apapun kesalahannya, jangan dendam tersebut selalu menyesakkan dada kita, apakah kita tidak mau mendapatkan ampunan Allah Ta'ala. Memaafkan = Mendapat Ampunan Allah Ta'ala.

2. Memaafkan harus dibarengi dengan perasaan lapang dada.

Kesempurnaan sikap memaafkan adalah jika dibarengi dengan perasaan lapang dada, yang menganggap seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Sebagian mungkin bisa memaafkan tetapi tidak bisa lapang dada, contohnya:
Si A telah memaafkan B, orang yang pernah berbuat salah kepadanya tetapi:
- si A tidak ingin lagi bertemu dengan si B,
- si A malas untuk berkumpul bersama dengan si B lagi,
- si A masih selalu mengungkit kesalahan si B,
- si A tidak mau lagi berurusan dengan si B,
- si A tidak lagi mau menolong si B, jika si B membutuhkan pertolongan,
dan contoh-contoh yang lain masih banyak. Mungkin bisa cari sendiri.

Padahal, kalau kita perhatikan ayat-ayat suci Al Quran, maka seorang muslim diperintah untuk memaafkan dengan dibarengi lapang dada, mari kita perhatikan:

{وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا} [النور: 22]

Artinya: "…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada…". QS. An Nur: 22.

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pelajaran yaitu: Perintah untuk memaafkan dan lapang dada, walau apapun yang didapatkan dari orang-orang yang pernah menyakiti. Lihat Tafsir al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Mannan, karya As Sa'di rahimahullah.

{فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ} [المائدة: 13]

Artinya: "…maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". QS. Al Maidah: 13.

Ayat yang mulia ini memberi beberapa pelajaran:

1. Sikap memaafkan yang dibarengi dengan perasaan lapang dada adalah sifatnya seorang Muhsin.

2. Seorang Muhsin keutamaannya adalah dicintai Allah Ta'ala. Dan keutamaan orang yang dicintai Allah Ta'ala adalah:

- Masuk surga

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضى الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ « وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ « فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ ».

Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: "Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?", beliau menjawab: "Apa yang telah kamu siapkan untuk hari kiamat?", lelaki itu menjawab: "Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya", Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maka sungguh kamu kan bersama yang kamu cintai".  HR. Bukhari dan Muslim.

- Diharamkan oleh Allah Ta'ala untuk masuk neraka.

عنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَال: قَالََ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « والله, لاَ يُلْقِى اللَّهُ حَبِيبَهُ فِى النَّارِ»

Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, tidak akan Allah melemparkan orang yang dicintai-Nya ke dalam Neraka". HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2047.

- Dicintai oleh seluruh malaikat 'alaihimussalam dan diterima oleh penduduk bumi:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ، ثُمَّ يُنَادِى جِبْرِيلُ فِى السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى أَهْلِ الأَرْضِ »

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika Allah Tabaraka wa Ta'ala mencintai seorang hamba, maka Allah Ta'ala memanggil Jibril : "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah fulan", maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril menyeru di langit: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah kalian fulan", maka  penduduk langitpun mencintainya dan diletakkan baginya penerimaan di tengah-tengah penduduk bumi". HR. Bukhari.