Kamis, 22 Desember 2011

Bertutur Kata yang Baik dan Berkata Manis


(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah)

Sekedar menampakkan wajah yang berseri-seri serta bertutur yang baik sesungguhnya merupakan perkara ringan. Namun demikian, bagi sebagian besar kita hal itu seolah demikian berat untuk dipraktikkan. Yang memprihatinkan, gejala ini juga menimpa sebagian para penuntut ilmu agama di mana sikap mereka demikian kaku terhadap orang-orang awam.
Berjumpa dengan orang lain adalah perkara yang biasa dalam keseharian kita sebagai makhluk sosial. Karena tak mungkin kita hidup menyendiri dari orang lain. Kita butuh saudara, butuh teman, dan kita butuh orang lain. Yang tak biasa alias luar biasa, bila kita dapat mengamalkan tuntunan Allah k dan Rasul-Nya kala berjumpa dan berkata. Kenapa demikian? Karena di zaman kita sekarang, adab-adab Islam sudah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Mungkin karena kebodohan ataupun karena ketidakpedulian mereka.
Adapula yang berdalil dengan tabiat, yakni ada sebagian daerah di negeri kita ini di mana orang-orangnya bertabiat kaku, cuek, dan sok tak peduli. Sehingga bila bertemu dengan orang yang mereka kenal sekalipun, sikap mereka seperti tak kenal, tak ada senyum, tak ada sapaan. Lebih-lebih bila berjumpa dengan orang yang tak mereka kenal walaupun duduk bersama-sama dalam satu majelis. Ibaratnya kalau kita tidak menegur dan menyapa terlebih dahulu, mereka pun tidak akan menegur dan menyapa, benar-benar cuek dan kaku. Orang-orang seperti ini dijumpai sendiri oleh penulis. Awalnya penulis merasa mungkin punya salah terhadap mereka atau ada sikap yang tidak berkenan di hati mereka sehingga mereka berlaku demikian. Tetapi akhirnya penulis mengerti bahwa memang demikian tabiat umumnya mereka yang tinggal di daerah tersebut. Wallahu al-musta’an.
Sungguh Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik kepada sesamanya, rendah hati kepada saudara dan penuh tawadhu’. Allah k berfirman kepada Nabi-Nya:
“Rendahkanlah sayapmu kepada kaum mukminin.” (Al-Hijr: 88)
Maksudnya: bersikap lunaklah terhadap mereka dan perbaiki akhlakmu terhadap mereka karena mencintai, memuliakan, dan mengasihi mereka. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 435)
Dalam ayat lain, Allah l berfirman:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Bersikap ramah kepada saudara dan bertutur yang baik jelas merupakan amalan kebaikan, bahkan bila seseorang tidak mendapatkan harta untuk disedekahkannya di jalan Allah k maka mengucapkan kalimat yang baik dapat menggantikannya.
‘Adi bin Hatim z berkata, “Rasulullah n bersabda:
اِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَـمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma. Namun siapa yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa disedekahkannya maka dengan (berucap) kata-kata yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 2346)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat thayyibah merupakan sebab selamat dari neraka. Yang dimaksud kalimat thayyibah adalah ucapan yang menyenangkan hati seseorang jika ucapan itu mubah atau mengandung ketaatan.” (Al-Minhaj, 7/103)
Ibnu Baththal tberkata, “Kalimat thayyibah teranggap sebagai sedekah, dari sisi di mana pemberian harta akan membahagiakan hati orang yang menerimanya dan menghilangkan rasa tidak senang dari hatinya. Demikian pula kalimat-kalimat yang baik, maka keduanya (pemberian harta dan ucapan yang baik) serupa dari sisi ini.” (Fathul Bari, 10/551)
Dalam hadits yang lain, Nabi n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 2707 dan Muslim no. 2332)
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari z:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْـمَعْرُوْفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim no. 6633)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika bertemu.”
Al-Qadhi Iyadh t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyariatkan, dan diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita n dalam hal ini dan sifat beliau yang Allah l sebutkan dalam Al-Qur`an, dan Allah l bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti tersebut dalam firman-Nya:
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159) [Ikmalul Mu’allim bi Fawa`id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar z, Rasulullah n bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi no. 1956, dishahihkan Asy-Syaikh Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no. 572)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri dan penuh senyuman ketika bertemu saudaramu akan dibalas dengan pahala sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja`a fi Shana`i’ Al-Ma’ruf, ketika membahas hadits di atas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin tberkata, “Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang baik, karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi n. Tentunya, sikap seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Allah l dan mengikuti Sunnah Nabi n. Karena beliau n selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika bertemu orang lain dan beliau banyak melempar senyuman. Karena itu, sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala, rasa cinta dan kedekatan hati, di samping jauh dari sikap takabur dan merasa tinggi dari hamba-hamba Allah l yang lain. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500)
Sungguh wajah yang cemberut ataupun tanpa ekspresi, dingin dan kaku, tidak pantas diberikan kepada sesama muslim, karena hal itu menyelisihi apa yang dititahkan oleh Allah k dan Rasul-Nya. Yang seperti itu seharusnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan munafik karena Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Taubah: 73)
Meskipun begitu, bila si orang kafir diharapkan mau masuk Islam, kita sepantasnya menampakkan wajah yang manis ketika berjumpa. Namun bila sikap baik kita ini justru menambah kesombongannya dan ia merasa tinggi daripada kaum muslimin, maka wajah cerah tidak boleh diberikan kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500-501)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t juga menyatakan, “Wajah yang cerah/manis termasuk perkara kebaikan, karena akan memasukkan kebahagiaan pada saudaramu dan melapangkan dadanya. Kemudian bila wajah yang berseri-seri ini digabungkan dengan tutur kata yang baik, akan tercapai dua maslahat, yaitu wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang baik. Nabi n menyatakan dalam sabdanya:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Takutlah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma.”
maksudnya jadikanlah pelindung antara kalian dan neraka walaupun kalian bersedekah hanya dengan sepotong kurma. Karena, hal itu akan dapat melindungimu dari api neraka jika memang Allah l menerima sedekah tersebut.
Namun jika kalian tidak mendapatkan sesuatupun yang dapat kalian sedekahkan, maka ucapkan kata-kata yang baik ketika berjumpa dengan saudara seiman. Misalnya engkau berkata kepadanya,
“Bagaimana kabarmu?”,
“Bagaimana keadaanmu?”,
“Bagaimana kabar saudara-saudaramu?”,
“Bagaimana dengan keluargamu?”,
dan yang semisalnya. Karena kalimat-kalimat seperti ini akan meresapkan kebahagiaan di hati saudaramu. Setiap kata-kata yang baik adalah sedekah di sisi Allah k. Dengannya akan diperoleh ganjaran dan pahala. Sungguh Nabi n telah bersabda:
الْبِرُّ حُسْنُ الْـخُلُقِ
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.”1
Beliau n juga bersabda:
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.”2 (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/501)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Menyenangkan Suami Ada Batasnya

Membuat suami senang merupakan salah satu tugas seorang istri. Tapi caranya tentu bukan dengan berprinsip Asal Suami Senang, sehingga tidak semua perkara yang membuat senang suami boleh dilakukan. Apa saja perkara yang mungkin bisa membuat suami senang tapi dilarang oleh syariat?

Istri mana yang tidak bahagia melihat suaminya tersenyum penuh keridhaan kepadanya dan karena senang padanya. Tentunya semua istri yang baik tidak melepaskan upaya untuk menyenangkan dan membuat ridha suaminya1, karena ia menyadari betapa besar hak seorang suami terhadap istrinya. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan baik bahwa menyenangkan suami itu ada batasnya dan tidak boleh keluar dari garis-garis syar‘i. Artinya, seorang istri ketika hendak menyenangkan suaminya, menuruti keinginan suaminya, maka hendaklah ia letakkan di hadapan matanya sabda Nabi n:
“Hanyalah ketaatan itu (diberikan) dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Sehingga seorang istri tidak boleh melakukan perkara yang haram dengan dalih ingin menyenangkan suami dan ingin mereguk cintanya. Kalaupun suami yang menyuruhnya melakukan perbuatan yang terlarang tersebut maka tidak ada kewajiban taat bagi si istri dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Bila suaminya ternyata murka karena keengganannya, hendaklah si istri mengingat dan menghibur diri dengan sabda Nabi n:
“Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka/marah padanya. Dan siapa yang membuat Allah ridha sekalipun manusia murka padanya, maka Allah akan ridha padanya dan Allah menjadikan orang yang memurkainya dalam meraih ridha Allah itu akan ridha pula padanya, sampai-sampai Allah akan menghiasi si hamba dan menghiasi ucapan dan amalannya di mata orang yang semula murka tersebut.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/132/1/1, lihat Ash-Shahihah no. 2311)
Seorang istri wajib taat kepada suaminya bila suaminya memanggilnya ke tempat tidur dan mengajaknya jima‘ namun bila si istri dalam keadaan haid, ia tidak boleh langsung memenuhi ajakan suaminya dengan dalih ‘kasihan suamiku, aku ingin menyenangkan suamiku’, tapi ia harus memberitahukan keadaannya kepada suami. Bila suami tetap memaksa maka ia tidak boleh mentaatinya karena Allah I telah menetapkan dalam Tanzil-Nya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari para istri (tidak menggauli mereka pada kemaluannya) di saat mereka sedang haid. Dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka sampai mereka suci dari haid tersebut. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah (pada farji/kemaluan mereka) kepada kalian.” (Al-Baqarah: 222)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata: “Yakni jauhilah para istri di tempat keluarnya darah haid mereka, sehingga yang tidak diperkenankan adalah menggauli istri pada qubulnya secara khusus. Perkara ini diharamkan dengan ijma (kesepakatan ulama). Dikhususkannya penyebutan menjauhi istri pada tempat keluarnya darah haid, menunjukkan bahwa bermesraan dan bersentuhan tubuh dengan istri yang haid dengan tidak menggaulinya pada kemaluannya adalah perkara yang dibolehkan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 100)
Demikian pula bila suami ingin menyetubuhinya pada duburnya maka ia tidak boleh menaati suaminya, karena Nabi n melaknat orang yang melakukan hal tersebut dalam sabda beliau:
“Terlaknat orang yang menggauli istrinya pada duburnya.” (HR. Ahmad, 2/4442)
Termasuk juga dalam hal berhias. Memang seorang istri harus berpenampilan bagus di hadapan suaminya. Ia harus terlihat indah dengan menghiasi dirinya, akan tetapi ia tidak boleh berhias dengan perkara yang diharamkan sekalipun suami senang dan ridha melihatnya. Ia tidak boleh mencabut dan mengerik alisnya, mengikir giginya dan menyambung rambutnya karena orang yang berhias seperti ini terlaknat. ‘Alqamah berkata: “Abdullah bin Mas’ud z melaknat para wanita yang mentato dan minta ditato, wanita yang menghilangkan rambut alis, wanita yang minta dihilangkan rambut alisnya dan wanita yang mengikir giginya agar terlihat bagus, wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah. Ketika ucapan Abdullah bin Mas’ud ini sampai kepada Ummu Ya’qub, salah seorang wanita dari Bani Asad yang biasa membaca Al Qur`an, ia mendatangi Abdullah seraya berkata: ‘Berita yang sampai padaku tentangmu bahwasanya engkau melaknat wanita-wanita yang demikian (Ummu Ya’qub menyebutkannya satu persatu)?’
Abdullah menjawab: ‘Kenapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah n dan hal ini ada dalam Kitabullah?’
‘Demi Allah, aku telah membaca lembaran-lembaran Al Qur`an, namun aku tidak mendapatkan laknat yang engkau sebutkan,’ kata Ummu Ya’qub.
Abdullah menimpali: ‘Demi Allah, bila engkau membacanya niscaya engkau akan mendapatkannya, yaitu Allah I berfirman:
“Apa yang dibawa oleh Rasulullah untuk kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 5939 dan Muslim no. 2125)
‘Aisyah dan Asma` bintu Abu Bakar c berkisah: “Ada seorang wanita dari kalangan Anshar menikahkan putrinya. Putri tersebut ditimpa sakit sehingga berguguran rambutnya. Maka sang ibu mendatangi Nabi n dan mengisahkan apa yang menimpa putrinya. Setelahnya ia berkata: ‘Suami putriku tidak sabar dan ia minta segera dipertemukan dengan putriku, apakah aku boleh menyambung rambutnya?’
Mendengar hal itu, Rasulullah n mencerca wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya. Beliau menyatakan:
“Semoga Allah melaknat wanita yang menyambung rambut3 dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5934, 5935, 5941 dan Muslim no. 2122, 2123)
Hadits ‘Aisyah di atas dari jalan Ibrahim bin Nafi‘, ada tambahan keterangan bahwa suami si putri itulah yang menyuruh ibu mertuanya untuk menyambung rambut istrinya, sebagaimana pernyataan sang ibu:
“Suami putriku menyuruhku agar aku menyambung rambut putriku.” (HR. Al-Bukhari no. 5205)
Al-Imam Bukhari t memberi judul untuk hadits di atas, Bab Laa Tuthi‘ul Mar`ah Zaujaha fi Ma‘shiyatin (Bab Tidak boleh seorang istri menaati suaminya dalam perbuatan maksiat). Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Dari penerangan sebelum ini diketahui, bahwa disenangi bagi seorang istri untuk menaati suaminya dalam seluruh perkara yang diinginkan suami. Namun dikhususkan dalam hal ketaatan ini, bila perkaranya tidak ada unsur maksiat kepada Allah. Bila suami mengajak istrinya untuk maksiat, maka wajib bagi si istri untuk menolaknya. Kalau ternyata si suami menghukum istrinya karena penolakannya tersebut maka si suami berdosa.” (Fathul Bari, 9/366)
Dengan demikian, sebagaimana seorang suami tidak boleh menuruti istrinya dalam perkara maksiat kepada Allah I, begitu pula sebaliknya seorang istri tidak boleh menaati suaminya dalam bermaksiat kepada Allah. Yang demikian ini perlu menjadi perhatian agar langgeng mawaddah wa rahmah (rasa cinta dan kasih sayang) di antara keduanya. Mawaddah itu adalah nikmat dari Allah I maka jangan dihilangkan dengan berbuat maksiat. Sebaliknya hilangnya mawaddah dari pasangan hidup teranggap musibah. Dan musibah itu tidaklah menimpa seorang hamba melainkan karena akibat perbuatannya sendiri. Allah I berfirman:
“Tidaklah menimpa kalian suatu musibah maka hal itu disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian dan Dia memaafkan banyak dari kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Al-Imam Ath-Thabari t berkata dalam Tafsir-nya terhadap ayat di atas: “Tidak ada satu musibah pun yang menimpa kalian wahai manusia di dunia ini, baik musibah yang mengenai diri kalian, keluarga ataupun harta kalian ‘maka hal itu disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian’, hanyalah musibah itu menimpa kalian sebagai hukuman terhadap kalian karena dosa-dosa yang kalian perbuat terhadap Rabb kalian, dan Rabb kalian memaafkan banyak dari dosa-dosa kalian sehingga Dia tidak menghukum kalian dengan semua dosa tersebut.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 11/150)
Dengan penjelasan yang telah dibawakan di atas, maka kita katakan kepada seorang istri: “Janganlah engkau menaati suamimu dalam bermaksiat kepada Allah I. Dan janganlah karena ingin mencari ridhanya, ingin menyenangkan hatinya, engkau melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah I dan Rasul-Nya. Ketahuilah, engkau tidak akan dapat meraih cinta suamimu atau mengikat cintanya dengan cara yang demikian. Kalaupun pada awalnya suamimu senang kepadamu dengan apa yang engkau lakukan, maka ketahuilah kesenangannya itu tidak akan langgeng namun akan berakhir dengan kemarahan dan kebencian. “Siapa yang membuat Allah murka karena ingin beroleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah murka itu akan murka/marah padanya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Yang sering menjadi dalil dalam masalah ridha ini adalah hadits Ummu Salamah x, ia berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:
“Wanita mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1854, namun sayangnya hadits ini ternyata dha’if (lemah), Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Adh-Dha’ifah no. 1426 menyatakan bahwa hadits ini mungkar.
2 Dalam sanad hadits ini ada perawi bernama Al-Harits ibn Makhlad, dia majhulul hal. Sehingga dalam hadits ini ada kelemahan. Demikian pula hadits-hadits lain yang berkaitan dengan larangan menjima‘i wanita pada duburnya, semuanya tidak lepas dari kelemahan. Namun bila hadits–hadits ini dikumpulkan maka bisa menjadi hujjah yang menunjukkan pastinya keharaman jima‘ pada dub(Al-Intishar li Huquqil Mu`minat, hal. 59)
3 Sama saja baik dia menyambung rambutnya sendiri atau melakukannya untuk wanita lain. (Fathul Bari, 10/388)

Fatwa Ulama tentang Boneka


1. Ada beragam boneka, di antaranya yang terbuat dari kapas yang memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ada pula yang sempurna menyerupai manusia. Ada yang bisa bicara, menangis, atau berjalan. Lalu apa hukum membuat atau membeli boneka semacam itu untuk anak-anak perempuan dalam rangka pengajaran sekaligus hiburan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menjawab: “Boneka yang tidak detail bentuknya menyerupai manusia/ makhluk hidup (secara sempurna) namun hanya berbentuk anggota tubuh dan kepala yang tidak begitu jelas maka tidak diragukan kebolehannya dan ini termasuk jenis anak-anakan yang dimainkan Aisyah x.
Adapun bila boneka itu bentuknya detail, mirip sekali dengan manusia sehingga seakan-akan kita melihat sosok seorang manusia, apalagi bila dapat bergerak atau bersuara, maka ada keraguan di jiwa saya untuk membolehkannya. Karena boneka itu menyerupai makhluk Allah I secara sempurna. Sedangkan yang dzahir, boneka yang dimainkan `Aisyah, tidaklah demikian modelnya (tidaklah rinci/ detail bentuknya). Dengan demikian menghindarinya lebih utama. Namun saya juga tidak bisa memastikan keharamannya, karena memandang, anak-anak kecil itu diberikan rukhshah/ keringanan yang tidak diberikan kepada orang dewasa seperti perkara ini. Disebabkan anak-anak memang tabiatnya suka bermain dan hiburan, mereka tidaklah dibebani dengan satu macam ibadah pun sehingga kita tidak dapat berkomentar bahwa waktu si anak sia-sia terbuang percuma dengan main-main. Jika seseorang ingin berhati-hati dalam hal ini, hendaknya ia melepas kepala boneka itu atau melelehkannya di atas api hingga lumer, kemudian menekannya hingga hilang bentuk wajah boneka tersebut (tidak lagi tampak/berbentuk hidung, mata, mulutnya, dsb, -pent.).”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 329, 2/277-278)
2. Banyak sekali dijumpai pendapat dan fatwa seputar permainan anak-anak. Lalu apa hukum boneka/ anak-anakan dan boneka hewan? Bagaimana pula hukumnya menggunakan kartu bergambar guna mengajari huruf dan angka pada anak-anak?
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: “Tidak boleh mengambil/ menyimpan gambar makhluk yang memiliki nyawa (kecuali gambar yang darurat seperti foto di KTP, SIM). Adapun yang selain itu tidaklah diperbolehkan. Termasuk pula dalam hal ini boneka untuk mainan anak-anak atau gambar yang digunakan untuk mengajari mereka (seperti memperkenalkan bentuk-bentuk hewan dengan memperlihatkan gambarnya, –pent), karena keumuman larangan membuat gambar dan memanfaatkannya. Padahal banyak kita dapatkan mainan anak-anak tanpa gambar/ berbentuk makhluk hidup. Dan masih banyak sarana yang bisa kita gunakan untuk mengajari mereka tanpa menggunakan gambar.
Adapun pendapat yang membolehkan mainan boneka untuk anak-anak, maka pendapatnya lemah karena bersandar dengan hadits tentang mainan ‘Aisyah x ketika ia masih kecil. Namun ada yang mengatakan hadits ‘Aisyah tersebut mansukh (dihapus hukumnya) dengan hadits-hadits yang menunjukkan diharamkannya gambar. Ada pula yang mengatakan bentuk boneka/ anak-anakan ‘Aisyah tidaklah seperti boneka yang ada sekarang, karena boneka ‘Aisyah terbuat dari kain dan tidak mirip dengan boneka berbentuk makhluk hidup yang ada sekarang. Inilah pendapat yang kuat, wallahu a’lam. Sementara boneka yang ada sekarang sangat mirip dengan makhluk hidup (detail/ rinci bentuknya). Bahkan ada yang bisa bergerak seperti gerakan makhluk hidup.”
(Kitabud Da’wah, 8/23-24, seperti dinukil dalam Fatawa ‘Ulama` Al-Baladil Haram hal. 1228-1229)
3. Apakah ada perbedaan bila boneka/ anak-anakan itu dibuat sendiri oleh anak-anak dengan kita yang membuatkannya atau membelikannya untuk mereka ?
Jawab:
Aku memandang –kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin– membuat boneka dengan bentuk yang menyerupai ciptaan Allah I haram hukumnya. Karena perbuatan ini termasuk tashwir yang tidak diragukan keharamannya. Akan tetapi bila mainan itu dibuat oleh orang-orang Nasrani dan kalangan non muslim, maka hukum memanfaatkannya sebagaimana yang pernah aku katakan. Tapi kalau kita harus membelinya maka lebih baik kita membeli mainan yang tidak berbentuk makhluk hidup seperti sepeda, mobil-mobilan dan semisalnya. Adapun boneka dari kapas/katun yang tidak detail bentuknya walaupun punya anggota-anggota tubuh, kepala dan lutut, namun tidak memiliki mata dan hidung, maka tidak apa-apa (dimainkan oleh anak-anak kita) karena tidak menyerupai makhluk ciptaan Allah I.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 330, 2/278)
4. Apakah benar pendapat sebagian ulama yang mengecualikan mainan anak-anak/boneka dari gambar yang diharamkan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata: “Pendapat yang mengecuali-kan mainan anak-anak/ boneka dari gambar yang diharamkan adalah pendapat yang benar. Namun perlu diperjelas, boneka seperti apakah yang dikecualikan tersebut? Apakah boneka yang dulu pernah ada (seperti yang dimainkan oleh Aisyah dengan sepengetahuan Nabi n -pent), yang modelnya tidaklah detail, tidak ada matanya, bibir dan hidung sebagaimana boneka yang dimainkan oleh anak-anak sekarang? Ataukah keringanan/pengecualian dari pengharaman tersebut berlaku umum pada seluruh boneka anak-anak, walaupun bentuknya seperti yang kita saksikan di masa sekarang ini? Maka dalam hal ini perlu perenungan dan kehati-hatian. Sehingga seharusnya anak-anak dijauhkan dari memainkan boneka-boneka dengan bentuk detail seperti yang ada sekarang ini. Dan cukup bagi mereka dengan model boneka yang dulu (tidak detail).”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, no. 327, 2/275)

Sabar saat Berpisah dengan Permata Hati

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Ujian akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Bentuknya pun bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah kematian anak. Sabar adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh seorang muslim agar mendapatkan kebaikan dari ujian yang menimpanya.
Berpisah untuk selamanya di dunia dengan anak yang dikasihi memang suatu kepedihan yang tertoreh begitu dalam di lubuk hati seorang insan. Apatah lagi dia seorang ibu yang pernah merasakan mengandung si anak, melahirkan, mengasuh, dan membesarkannya. Rasanya tak sanggup membayangkan hari-hari berlalu tanpa mendengar dan melihat celoteh, tawa canda, keceriaan, tangis dan jeritannya. Namun Allah I telah mengambil kembali milik-Nya, karena memang Dialah Pemilik yang hakiki. Dia berbuat sekehendak-Nya dengan hikmah-Nya yang agung dan dengan kemahaadilan-Nya.   (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia inginkan maka Dia lakukan), sehingga yang sepantasnya terlantun dari lisan seorang hamba yang beriman adalah kalimat istirja‘, Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un dan dia berdoa kepada Allah I agar dia diberi pahala dengan ujian/ musibah yang menimpanya, diberikan ganti dengan yang lebih baik daripada musibah tersebut dan diberi taufik untuk bersabar dengan kesabaran yang indah, . Wallahu al-musta‘an.
Demikianlah yang seharusnya dilakukan seorang ibu bila Allah I mengambil permata hatinya. Dia bersabar, ridha, dan ihtisab (meniatkan kesabaran itu untuk mendapatkan  pahala dari-Nya agar Allah menghitungnya sebagai amalan shalih)!
Ujian itu suatu kemestian
Tidak ada seorang mukmin pun yang hidup di muka bumi ini kecuali dia akan diuji oleh Allah I. Dia Yang Maha Suci berfirman dalam tanzil-Nya:
“Kami sungguh-sungguh akan menguji kalian dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa1, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un’. Mereka itulah yang mendapat pujian dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”  (Al-Baqarah:155-157)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata dalam menafsirkan terhadap ayat di atas: “Allah I mengabarkan bahwa Dia pasti akan menimpakan ujian kepada hamba-hamba-Nya, agar menjadi jelas siapa yang jujur dalam imannya dan siapa yang dusta, siapa yang berkeluh kesah dan siapa yang sabar. Ini adalah sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya. Andai kelapangan dan kesenangan itu terus-menerus diperoleh orang yang beriman dan dia tidak diberi ujian, niscaya akan terjadi percampuran (orang yang benar imannya dengan orang yang dusta dalam keimanannya, pen.) di mana hal itu merupakan kerusakan. Sementara hikmah Allah menghendaki dipisahkan/ dibedakannya orang yang baik dari orang yang jelek. Inilah faidah ujian. Ujian itu bukanlah bertujuan menghilangkan iman kaum mukminin dan bukan pula tujuannya menolak mereka dari agama mereka.”
Beliau t berkata lagi: “Siapa yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika ditimpa musibah, maka dia akan menahan dirinya dari sikap marah (kepada Allah) baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dia mengharapkan pahalanya dari sisi Allah dan dia tahu pahala yang diperoleh dengan kesabarannya lebih besar daripada musibah yang menimpanya. Bahkan musibah itu bisa menjadi kenikmatan bagi dirinya. Karena, musibah tersebut menjadi sebuah jalan yang mengantarkannya kepada perkara yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Orang yang berbuat demikian sungguh telah berpegang dengan perintah Allah dan dia beruntung memperoleh pahala-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 76).
Untuknya dipersembahkan kabar gembira dari sabda Rasul yang mulia r:
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya maka Allah berikan musibah padanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5645)
Surga yang dijanjikan bagi orang yang bersabar
Allah I menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang mau bersabar dengan musibah yang menimpanya. Janji ini teruntai lewat lisan Rasulullah r:
“Allah I berfirman: Tidak ada balasan yang diperoleh seorang hamba-Ku yang mukmin di sisi-Ku ketika Aku mengambil orang yang dikasihinya dari penduduk dunia kemudian dia bersabar (karena mengharapkan pahala dari-Ku), kecuali (dia akan memperoleh) surga.” (HR. Al-Bukhari no. 6424)
Maka, duhai ibu, betapa kecil dukamu karena perpisahan dengannya bila dibanding dengan jannah (surga) Allah I yang kan engkau peroleh. Bersabar dan harapkanlah pahala dari-Nya!
Satu lagi berita yang semoga dapat menggembirakanmu dan meringankan dukamu. Abu Sinan bertutur: “Aku telah meletakkan anakku dalam kuburnya. Ketika aku masih berada dalam liang kubur tiba-tiba Abu Thalhah Al-Khaulani memegang tanganku lalu ia mengeluarkan aku.
“Maukah aku beri kabar gembira padamu?”, tanyanya.
“Tentu”, jawabku.
“Telah menceritakan padaku Adh-Dhahhak bin Abdirrahman dari Abu Musa Al-Asy’ari z, ia berkata: “Rasulullah r bersabda:
“Allah I  berfirman : “Wahai Malaikat Maut, engkau telah mencabut ruh anak dari hamba-Ku? Engkau telah mencabut ruh penyejuk matanya dan buah hatinya?” Malaikat maut menjawab: “Ya.”
Allah berfirman: “Lalu apa yang diucapkan hamba-Ku itu?” (Dan Allah Maha Tahu, pen)
“Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja’,” jawab Malaikat Maut.
Allah I berfirman: “Kalau begitu bangunkan untuknya sebuah rumah di surga dan beri nama rumah itu dengan Baitul Hamdi.” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 795)
Ingat pula bagaimana kisah kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim x menghadapi kematian putranya, sehingga Rasul yang mulia r mendoakan keberkahan untuk diri dan suaminya di malam itu. Allah pun dengan kemahaadilan-dan kasih sayang-Nya menggantikan untuk keduanya dengan anak yang lebih baik, yang kelak melahirkan sembilan anak yang hapal Al-Qur’an. Subhanallah!  (HR. Al-Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144)
Tangis tidaklah meniadakan kesabaran
Bersabar ketika anak meninggal dunia bukanlah berarti seseorang tidak diperkenankan menangis. Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab seorang hamba karena tetesan air matanya dan tidak pula karena kesedihan hatinya…” (HR. Al-Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)
Bahkan tangisan itu adalah rahmat, tanda kasih sayang di hati seorang hamba. Namun yang dilarang dalam hal ini bila tangis itu berupa ratapan, dengan berteriak-teriak dan mengucapkan kata-kata sebagai pertanda tidak ridha dengan ketetapan Allah atau melakukan tindakan-tindakan yang diharamkan seperti memukul pipi, merobek kantung baju dan lainnya (melakukan niyahah). Adapun sekadar meneteskan air mata karena didorong kesedihan hati maka Rasulullah r pun mengalaminya.
Usamah bin Zaid bin Haritsah c maula Rasulullah r berkisah: “Putri Rasulullah r mengirim seseorang untuk menemui Rasulullah guna menyampaikan pesannya: ‘Putraku telah menjelang wafatnya, maka mohon ayah datang ke tempat kami’.
Rasulullah r pun mengirim utusannya guna menyampaikan salam beliau dan mengatakan: “Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang Dia ambil dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang tertentu. Karena itu hendaklah engkau bersabar dan ihtisab-lah.”
Setelah mendapat pesan demikian, putri Rasulullah r kembali mengirim seseorang untuk menemui beliau dan bersumpah agar beliau mau mendatanginya. Maka beliau pun menuju rumah putrinya ditemani Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang lainnya g. Cucu beliau yang menjelang ajalnya itu pun diangkat kepada beliau, maka beliau mendudukkannya di pangkuan beliau sementara napas anak itu berguncang. Mengalirlah air mata beliau. Sa‘ad pun bertanya: “Ya Rasulullah, tangisan apakah ini?”
“Tangisan ini adalah rahmat yang Allah jadikan di hati hamba-hamba-Nya,” jawab beliau.
Dalam satu riwayat: “Tangisan ini adalah rahmat yang Allah tempatkan di hati-hati hamba yang Dia kehendaki dan Allah hanyalah merahmati hamba-hamba-Nya yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR. Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923)
Duhai ibu, bersabarlah dengan musibah yang menimpamu dan harapkanlah pahala dari Rabbmu yang amat Pengasih!!!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

1 Seperti meninggalnya shahabat, kerabat dan orang-orang yang dicintai termasuk dalam hal ini kehilangan anak-anak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/256; Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 76)

Hukum Berhias dengan Inai


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata: “Tidak apa-apa berhias dengan memakai inai, terlebih lagi bila si wanita telah bersuami di mana ia berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, maka yang benar hal ini mubah (dibolehkan) baginya, namun jangan menampakkannya kepada lelaki yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan.

Banyak pertanyaan yang datang dari para wanita tentang memakai inai ini pada rambut, dua tangan atau dua kaki ketika sedang haidh. Jawabannya adalah hal ini tidak apa-apa karena inai sebagaimana diketahui bila diletakkan pada bagian tubuh yang ingin dihias akan meninggalkan bekas warna dan warna ini tidaklah menghalangi tersampaikannya air ke kulit, tidak seperti anggapan keliru sebagian orang. Apabila si wanita yang memakai inai tersebut membasuhnya pada kali pertama saja akan hilang apa yang menempel dari inai tersebut dan yang tertinggal hanya warnanya saja, maka ini tidak apa-apa.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 4/288)

Berhias Dengan Akhlak Mulia


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Lombok)

Di dalam Al-Qur`an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan agar manusia memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik (akhlakul karimah) sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan yang kadang dihadapkan dengan berbagai cobaan. Dengan akhlak yang baik, berbagai bentuk cobaan hidup bisa dijalani sehingga kita senantiasa diridhai Allah.

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan dan gesekan-gesekan hidup. Gesekan itu bisa datang dari diri kita sendiri atau dari orang lain. Tak jarang kita dihadapkan dengan orang-orang terdekat seperti kedua orang tua, sanak famili, teman-teman, dan bahkan dari seluruh masyarakat.
Ini adalah suatu kemestian, terlebih kalau kita hidup bersama orang lain. Yang demikian itu terjadi karena kita tidak memiliki hati yang satu dan tujuan yang sama. Itulah yang mengakibatkan terjadinya gesekan-gesekan dalam hidup. Sebagai individu saja, kita sering mengalami problema, maka terlebih lagi kalau terkait dengan orang lain. Oleh karena itu, Islam mengajarkan akhlak yang mulia untuk menghadapi semua itu dan bergaul bersama orang lain dengan pergaulan yang baik.
Sudahkah Anda berbakti kepada kedua orang tua dan tahukah hukumnya? Allah I berfirman:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu (agar kamu mengatakan kepada mereka) janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Isra`: 23)
Pernahkah anda kasihan terhadap orang yang mendapatkan musibah dan terdorong untuk segera membantunya? Allah I berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang memberikan kemudahan terhadap kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Bisakah Anda tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan saudara Anda? Padahal Allah I berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu di hadapan orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara`: 215)
Bisakah Anda menahan marah ketika melihat kekurangan pada diri saudara Anda? Padahal Rasulullah r bersabda:
“Seseorang datang kepada Rasulullah lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah!! Nasehatilah aku”. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu marah.” Orang tersebut mengulangi (pertanyaannya), Rasulullah tetap mengatakan: “Jangan kamu marah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Bisakah Anda menjadi orang pemaaf ketika saudaramu bersalah dan langsung meminta maaf?  Allah I berfirman:
“Jadilah engkau pemaaf dan serulah kepada kebajikan dan berpalinglah dari orang-orang jahil.” (Al-A’raf: 199)
Bisakah Anda menebar salam dan tersenyum di hadapan saudaramu? Rasulullah r bersabada:
“Hak orang muslim terhadap muslim lainya ada lima; menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, menjawab undangan dan menjawab orang yang bersin.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Bisakah Anda lemah lembut di hadapan saudaramu? Padahal Allah I berfirman:
“Maka dengan rahmat Allah-lah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka dan jika kamu berlaku kasar terhadap mereka, niscaya mereka akan menyingkir dari sisimu.” (Ali ‘Imran: 159)
Pernahkah Anda sadar membaca Bismillah ketika ingin makan dan minum, dan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib sementara dengan tangan kiri adalah haram? Rasulullah r bersabda:
“Hai nak, bacalah bismillah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan pernahkah Anda sadar bahwa makan dan minum dengan tangan kiri adalah cara syaithan? Rasulullah r bersabda:
“Maka sesungguhnya syaithan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)
Masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam? Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian masuk ke rumah-rumah yang bukan rumah kalian sampai kalian meminta izin dan mengucapkan salam atas penghuninya.” (An-Nur: 28)
Sayangkah Anda kepada saudara Anda sesama muslim? Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin Abdullah z)
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sebagian dari akhlak yang harus ada pada seseorang dan dalam hidup bermasyarakat.
Berakhlak Yang Baik
Kita menginginkan semua orang baik di hadapan kita dan menginginkan agar mereka cinta dan sayang. Kita berharap memiliki teman yang mengetahui jati diri kita, keluarga kita, dan berusaha meringankan beban hidup kita. Kita mencari teman yang bisa kita ajak menuju segala bentuk kebajikan. Kita ingin memiliki teman yang tawadhu’, lapang dada, penyayang, ramah tamah, ringan tangan, penyabar, yang suka mengingatkan ketika kita lupa dan yang menasehati ketika bersalah, selalu bermuka manis dan ceria, memiliki tutur kata yang baik, lemah lembut, dermawan, menerima kekurangan orang lain, pemaaf dan akhlak-akhlak baik lainnya. Untuk mendapatkan hal yang demikian, tentu memiliki syarat-syarat yang harus dilakukan yaitu “Berakhlaklah dengan akhlak yang baik”. Rasulullah r bersabda:
“Bertakwalah di mana saja kamu berada dan susullah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskan perbuatan jelek tersebut dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (Hasan, HR. At-Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal dan Abu Dzar c)
Dalam hadits ini ada beberapa pelajaran penting, di antaranya anjuran untuk selalu memberikan wasiat kepada saudaranya dan mengingatkan kewajiban-kewajibannya. Juga bahwa setiap orang harus selalu merasa diawasi oleh Allah I, perbuatan baik akan menghapuskan perbuatan jelek, dan bergaul dengan setiap orang dengan akhlak yang baik.
Wallahu a’lam.

Orang Tua Tak Mau Menikahkan Putranya



Kepada Ustadz, semoga Allah merahmati Ustadz dan kita semua. Saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Ustadz.
1.    Bagaimana apabila orang tua tidak mau menikahkan anak laki-lakinya dengan alasan belum punya pekerjaan atau tidak punya ketrampilan sehingga menyebabkan anaknya itu mengalami gangguan saraf karena tidak menikah?
-    Salahkah perbuatan orang tua itu?
-    Apa yang harus diperbuat si anak?
2.    Bagaimana hukum orang tua yang mengatakan kepada anaknya “Lebih baik saya mati daripada punya anak senakal kau.” Anak itu berusia enam atau tujuh tahun.
Demikian pertanyaan saya. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(UF di Makassar)
Dijawab oleh
Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim:
1.    Sesungguhnya Allah I menyatakan:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan.” (An-Nahl: 90)
“Berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 195)
Dari kedua ayat ini kita diperintah untuk berbuat baik dan berbuat adil karena dengan melakukan kedua perbuatan ini kita dicintai Allah I.
Sebagai orang tua hendaknya dia membantu anaknya dalam segala kebaikan, termasuk membantu pernikahannya, karena ini termasuk perkara kebaikan dan keadilan tersebut.
Terlebih lagi bila anak itu telah sampai pada saat yang wajib untuk menikah, agar tidak terjadi fitnah di muka bumi ini. Adapun mengenai persyaratan orang tua yang mengharuskan kerja atau mengatakan anak tidak punya ketrampilan, dalam hal ini anak sendirilah yang lebih mengerti akan dirinya. Kalau yang dimaksud pekerjaan adalah pegawai negeri, maka orang yang menikah itu tidak harus pegawai negeri. Orang bisa menikah walaupun bukan pegawai negeri atau tidak memiliki pekerjaan tetap namun bisa berwiraswasta.
Menganggap anak tidak punya ketrampilan, maka hal itu adalah suatu kekeliruan. Banyak orang yang dianggap tidak punya ketrampilan ternyata menjadi orang besar, karena ketrampilan itu sendiri banyak dan tidak terbatas. Tidak hanya sebatas menguasai teknik mesin, teknik bangunan atau yang semacamnya.
Sedangkan yang harus diperbuat oleh anak tersebut, yang pertama ia harus menunjukkan bahwa ia mampu menghidupi keluarga setelah menikah dan mampu bekerja, melakukan pekerjaan apa saja yang halal sehingga nantinya ia bisa memberi makan anak istrinya. Namun kalau toh setelah diusahakan orang tua tetap melarangnya, maka anak itu bisa melangkah untuk menikah walaupun orang tua tidak memperkenankannya, bila kewajiban telah melekat pada dirinya. Maka ia berhak untuk menikah.
Di dalam syariat Islam, anak laki-laki bisa menikah walaupun tanpa izin orang tuanya, tidak seperti anak perempuan, karena anak perempuan harus ada izin walinya (orang tuanya).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, batil, batil.” (Shahih, HR. Al-Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Dikatakan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/493: Ini hadits shahih)
Sementara anak laki-laki tidak mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Namun sebagai anak yang shalih tentunya dia harus memberitahukan kepada kedua orang tuanya apa yang hendak dilakukannya tersebut. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
2. Untuk jawaban pertanyaan berikutnya, sebaiknya orang tua memiliki pandangan bijaksana terhadap anaknya. Ini bila ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama, anak ini masih kecil, belum bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.
Kedua, kalaupun berbuat salah, maka dosanya belum tercatat di sisi Allah I dengan dalil hadits yang sanadnya shahih:
“Diangkat pena dari tiga golongan (di antaranya) dari anak kecil hingga dia mencapai usia baligh.” (Diriwayatkan Ashabus Sunan, Al-Imam Al-Hakim dan Al-Imam Ahmad, dan sanad hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau terhadap kitab Musnad Al-Imam Ahmad no. 940 dan 1183)
Ketiga, anak pada usia tersebut tumbuh untuk berkembang dan beraktivitas. Apabila dilontarkan perkataan semacam itu, dikhawatirkan akan mengakibatkan anak takut untuk berbuat sehingga cenderung menjadi orang yang penakut dan minder.
Para ulama mengatakan bahwa usia ini adalah usia yang dapat menerima masukan apa pun, baik dari bapaknya, ibunya atau yang lainnya. Perkataan semacam ini bila sering didengar anak akan masuk dan mempengaruhi jiwanya.
Keempat, dilihat dari sisi syariat perkataan ini tidak syar’i karena kita dilarang untuk minta mati seperti datang dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim:
“Janganlah kalian mengharapkan kematian karena suatu musibah yang menimpa. Apabila kalian mesti berharap, hendaklah mengatakan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku dan matikanlah aku bila kematian itu baik bagiku.”
Wallahu a’lamu bish-shawab.